Sunday 11 September 2016

Jembatan.
Jembatan ini rasanya rapuh, sekali salah injak betonnya akan jatuh. Sedangkan aku sedang melepuh, wanita itu berhasil membuatmu luluh.
Apapun itu, aku sedang bergemuruh.
Setiap orang yang berlalu lalang di jembatan ini tidak pernah punya pikiran tentang bagaimana sebuah jembatan bisa mencetak sejarah bagi kematian seseorang.
Aku ingin melompat, vertikal ke bawah. Haha, pleonasme murah.
Di balik lampu merah mobil di bawah itu, tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan si pengemudi.
Ada yang menyandarkan kepalanya sambil berpikir tentang amarah tadi siang.
Ada yang memegang stirnya kuat sambil tersenyum karena habis mengantar sang kekasih.
Ada pula yang bersandar di stir, berharap cepat pulang dan memeluk cintanya.
Wah, lampu jalanan rasanya sangat terang. Bintang pula kalah benderang.
Kamu bilang akulah bintangmu.
Tapi untuk apa menjadi bintang bila lampu jalanan lebih membuat mata mu berbinar?
Untuk apa menjadi milikmu jika hanya sekedar kotak mengeluh?
****
Zebra Cross
Aku menghitung garisnya di setiap kita melewati Zebra Cross sambil berpegang tangan.
Tidak terhitung.
Sayangnya, aku pula menghitung waktu saat kita harus berseberangan dan akhirnya berbeda jalur.
Jika garis kemarin aku bilang tidak terhitung, maka waktu yang aku hitung sekarang,
Tidak terasa.
****
Gorong-gorong Kota
Sehina itu rasanya setelah berpisah denganmu, bulan.
Seperti tidak ingin menjadi bintang di sekitarmu lagi.
Aku, aku memutuskan untuk jatuh, mengucilkan diri dan gorong-gorong kota adalah tempat gelap yang sempurna. Bahkan api pun tidak terlihat terang.
Aku warga gorong-gorong kota hari ini. Lebih mudah mengamatimu dari bawah sini.
Jujur, aku memang merindukanmu di atas sana, tapi sebaiknya aku di sini, di tempat gelap, karena di tempat ini, aku bisa mengagumi cahayamu dengan jelas dan dengan bersembunyi.
****
Aspal yang Kita Kotori
Ingatkah dengan aspal yang kita kotori?
Dengan jejak kaki atau dengan roda.
Aku masih ingat.
Garis kuningnya masih terang, sampai menyinggung mata. Saking terangnya, aku menangis.
Jejak kaki kita tidak pernah hilang dan kau masih pura-pura lupa tentang perjalanan senja itu?
Semoga hujan menghapus jejak itu, lalu menghapus ingatanku, sekaligus menghapus jiwamu, sayang.

Wednesday 27 July 2016

Aku ingin menulis ini sejak lama.
Seperti satu tahun yang lalu seharusnya sudah aku tulis.
Tapi aku terlalu malu dan naif untuk menggambarkanmu lewat tulisan.
Karena kau adalah duri mawar yang bersembunyi di setiap tangkai yang kupetik.
Dan aku tidak ingin terlihat cacat dengan mengeluh tentang duri mawar, tentang dirimu.

Bagaimana rasanya saat kita sudah di bab terakhir? Semua berjalan seperti biasanya.
Bab terakhir yang selalu dibicarakan orang-orang, karena menurut mereka, mengakhiri cinta harus dengan cerita yang berakhir.

Dan sekarang, di sinilah kita. Di bab terakhir. Dimana semuanya kupikir harus seimbang.

Aku tidak mungkin mengharapkanmu atas kenyamanan

Tapi

Aku juga tidak mungkin melepaskan kenyamanan sepertimu.

Sungguh, aku sangat suka melihatmu

Kau mencintai pribadiku
Dan kau menemukan pribadiku di wanita lain yang lebih cantik
Kau membakarku
Tidak sampai abu
Hanya menimbulkan luka bakar hitam yang ujungnya jadi ejekkan teman
Tapi, justru luka itu yang jadi tawa di antara kita.
Kau dan aku sudah sadar bagaimana kita menghadapi jatuh bangun di hari-hari milik kita. Bagaimana kita sama-sama bergandeng tangan dan saling mendorong ke jurang.
Kita sudah melewati klimaks cerita.

Sampai pada bab terakhir ini,
Si Wanita pergi ke kota orang dan si Pria tinggal di kota ibunya.
Aku, si Wanita yang menunggu bab terakhir ini akan jadi seperti apa
Dan kau, si Pria yang tidak menggubris jalan cerita.
Aku membuat sejarah tentang hari kita, tentang ribuan kata yang kita obrolkan, ratusan gambar yang kita kirimkan dan puluhan lagu yang kita bagi.

Di bab terakhir ini, aku bingung bagaimana kau masih mengingatku, aku bingung bagaimana kau masih mau mengangkat handphonemu.
Padahal, aku dan kamu sudah tidak bertatap muka selama 31 hari.
Tapi kita bertukar foto dan bertukar hari.

Dan kepadamu,
Tulisan ini aku sampaikan. Hal yang tidak pernah aku kirim tentang betapa aku bersyukur dan tersenyum karena kita bersinggungan beberapa waktu

Dan kepadamu,
Aku sampaikan, aku kirimkan kotak-kotak plester dan foto hatiku yang kau buat cacat. Hal yang selama ini menutup mataku dengan kabut tebalnya, hal yang membutakanku, hal yang sangat buruk.

Aku lupa sudah berapa kali bertengkar dan mencoba hilang, nyatanya,

Kita akan selalu pulang

Dan aku kembali mengatakan tentang "aku tidak cinta".

Aku tidak ingin berharap lagi tentang kita akan selalu pulang ke masing-masing cerita dan tawa, masing-masing naik dan turun kita.

Kita adalah dua orang yang hidup di belakang bayang-bayang karena terlalu ragu dengan kita.

Kau menyuapiku dengan manisnya hidup dan memberiku minuman pahit yang membuatku meringis.
Begitu juga denganku, aku menawarkanmu roti manis yang bisa kau tulis dan kau berikan kepadaku tapi di samping itu, aku membuatkanmu kopi pahit di setiap pagi.

Kau beriku puisi indah di sampingnya, kau taruh berita-berita dirimu dan wanita lain, begitu pula aku yang mengirimimu kalimat-kalimat dukungan padahal setelah itu, ku beri kau kalimat perih sampai kadang kau menangis.

Kita sama-sama manja
Kita sama-sama membunuh
Kita sama-sama mendominasi ketika kita ingin semuanya seimbang.

Kita adalah kita.
Mungkin kita tidak akan bertemu lagi, tapi kau ingat janjimu tentang mengingatku di setiap hal,
Dan aku ingat janjiku yang tidak pernah aku sebutkan,
Aku selalu ingat tentangmu di tempat-tempat yang pernah kita jadikan pelampiasan, di gambar-gambar yang menyatukan kita dan obrolan yang membangun kenyamanan.

Mungkin memang sampai di sini. Ada kalanya sesuatu memang tidak digariskan selamanya.

Kita tidak akan sempurna,
Karena aku tidak sempurna.

kita hanya kenangan di atas meja belajar di saat semua orang hidup dalam masa lalu kita dan bertanya kabar tentang kita masing2 padahal kita pun tidak pernah tahu kabar yang sejujurnya.

Aku adalah seorang naif yang masih terbayang wangimu
Kau adalah seorang revolusian yang masih terbayang dengan kehadiranku
Kita adalah kenyamanan yang tidak bisa keluar dari jebakan dan mungkin,
Kita adalah dua orang yang akan selalu pulang.
Kendalanya, kita adalah orang dewasa yang sebenarnya masih kekanakkan.

Sampai bertemu lagi.

Sunday 19 June 2016

Duh, lelah.
Apakah kamu tidak lelah?
Bruh, saya sangat lelah. Setengah mati. Saya lelah. Satu hari saya akan tersenyum tapi esoknya saya akan merengut.
-
Lelah, rasanya seperti ingin menyudahinya tapi saya ingin secara baik-baik.
-
Asal kamu tahu, saya selalu benci ketika saya marah dengan kamu hanya karena keadaan tidak berjalan dengan seharusnya.
-
Saya selalu benci ketika saya harus merengek dan menjelaskan semuanya sedangkan kamu sudah menjelaskan hal itu dengan tambahan kata maaf.
-
Bruh, saya lelah, sangat lelah. Apa yang salah dengan hal ini? Padahal sudah dibahas beratus-ratus kali.
-
Intinya, saya jatuh terlalu dalam secara tidak sadar sampai saya tersangkut dan tidak bisa kemana-mana.
-
Saya mencoba kabur dan tidak akan kembali lagi. Mungkin seharusnya memang ada jarak di antara keduanya. Harus ada.
-
Saya tidak akan kembali lagi, seharusnya.

×××
Pernahkah merasa di titik paling puncak dimana sudah kelelahan karena pendakian yang panjang dan berat?

Saya sudah sampai di titik itu. Dimana semuanya terlihat salah dan saya ingin melupakan semua. Tidak ada lagi yang bisa disalahkan kecuali diri sendiri yang berujung dengan menyalahkan seseorang.

Oh, God, mungkin kamu tidak akan tahu betapa lamanya saya menahan napas dan ingin menghembuskannya dengan damai, seperti di atas gunung yang sejuk dan melihat rumput hijau yang membentang. Saya ingin relaksasi.

Seperti menahan napas karena saya harus tenggelam dengan badan yang diikat batu besar dan hanya bisa menatap sinar matahari yang mulai samar.

Saya ingin menghembuskan napas dengan lega, dengan hati yang tidak lagi berat dan tersenyum kepada matahari.

Iya, saya hanyalah pengemis yang meminta-minta kebahagiaan tetapi tidak ingin berusaha, seperti apa yang orang-orang pikir.

Yang orang-orang pikir, hidup saya sangatlah menyedihkan. Galau sana sini, sedikit-sedikit menulis kalimat drama, padahal saya payah.

×××

Jika kamu ingin tahu lebih rincinya,
Saya seperti ditenggelamkan ke laut yang tenang dengan badan yang diikat batu besar. Saya tenggelam perlahan dan menatap sinar matahari yang semakin samar.

Awalnya saya memberontak berusaha untuk melepaskan diri, tapi air semakin banyak dan mungkin yang saya lihat hanya butiran air yang mengisi kepala saya.

Dan pada titiknya, saya berhenti dan diam. Menikmati segala sesak dan napas yang mampat karena mungkin saya tidak lagi bernapas. Laut yang tenang itu sangat dalam dan saya tidak lagi berbuat apa-apa.

Betapa lelahnya saya.

Saya ingin melepaskan ini semua dan berenang ke permukaan, menghirup udata segar dan melihat langit yang cerah, sendiri atau bersamamu.

Saturday 11 June 2016

Kadang aku kasihan dengan Si Pecandu sepi.
Hari-harinya hanya diisi dengan melihat handphonenya,
Bahkan hanya untuk men-scroll feed instagram atau hanya sekedar buka-tutup aplikasi chat, menunggu ada yang membahas topik untuk hari ini.
-
Kadang aku kasihan dengan Si Pecandu sepi.
Yang ia dengar bukan obrolan, candaan atau curhatan, cuma lagu-lagu favoritnya.
Bahkan ia lupa seperti apa bunyi notifikasi karena ia terlalu malas untuk mengganti nada notifikasi getarnya.
-
Kadang aku kasihan dengan Si Pecandu sepi,
Satu-satunya teman obrol yang abadi ialah dirinya sendiri.
-
Aku kasihan dengan Si Pecandu Sepi,
Aku kasihan ketika teman-temannya menyebut ia si Kesepian.
-
Aku kasihan.
Aku ingin menemaninya,
Tapi ia terlalu sibuk dengan sepinya bahkan mungkin ia lupa apa rasanya mempunyai manusia lain yang dapat diajak berkomunikasi.
-
Aku kasihan setiap ia melihat timeline sosial medianya.
Aku tahu ia iri.
Tapi, mau bagaimana lagi?
-
Ialah si Pecandu sepi.

Sebut saja kau adalah sepatu
Yang terjaga, disembah dan modis

Sebut saja saya hanyalah sandal
Yang terbuat dari karet dan cepat kotor

-

Jika sepatu malu bersebelahan dengan sandal, seharusnya sepatu tinggal bilang
Karena itu wajar.
Sandal memang tidak seharusnya ada di sebelah sepatu
Merusak reputasi.
Apa kata sepatu yang lain?

-

Jika sepatu malu untuk berjalan di samping sandal, seharusnya sepatu berterus terang dan tidak mengulur-ngulur waktu agar sandal tidak menunggu-nunggu dengan harapan dungu.

-

Jika memang sepatu dan sandal tidak satu rak, maka seharusnya sepatu tinggal berkata dengan kata-kata baik,
Tidak perlu menghindar dan membandingkan sandal dengan sepatu wedges atau bahkan high heels.

-

Sebenarnya kau tinggal berterus terang dengan saya.
Tentang semua rasa gelisahmu ketika ada di dekat saya.
Karena saya tahu, diam-diam kau menjaga reputasi.

Apa yang lebih penting dari reputasi? Penampilan.

Kau tinggal bilang, "saya malu dengan orang lain jika bersamamu".
Maka kau tidak akan membuat saya menjadi orang dungu.

Atau kau pikir, ini salah saya. Saya yang terlalu bodoh dan tidak tahu malu.
Ya, sekarang saya tahu mengapa setiap saya mengundangmu keluar, kau tidak menggubris, hanya menimpali dengan ocehan manis tentang alasan kau tidak bisa memenuhi undangan.

Ya, saya cukup bodoh untuk ini semua.
Padahal, kau tinggal bilang.

-

Padahal si Sepatu tinggal mengutarakannya kepada sandal yang jelas-jelas buruk rupa.
Hanya itu.

Friday 3 June 2016

Hi, June. Apa kabar?
Ingatkah tahun lalu langitmu sangat hitam?
Hujan, petir sampai tornado.
Dan saya berjalan di bawah langitmu dengan payung yang saya bawa seadanya. Satu langkah dua langkah payung itu masih bisa menutupi saya dari cuacamu. Tapi, semakin lama saya berjalan, semakin berlubang dan semakin pudar warna-warninya.

-

Pada hari dimana batang payung itu bengkok, saya menangis lagi karena tidak tahan dengan cuaca Juni. Saya menangis sambil mencari rumah yang pas untuk saya tinggali sementara tapi hasilnya nihil. Cuaca Junimu semakin memburuk, rumah-rumah di sekitar kau buat rusak.

-

Saya tidak akan melupakan bulan Juni 2015. Di sanalah saya merasakan tidak punya apa-apa secara batin, bukan fisik. Hati yang patah, teman yang hilang, nilai yang turun, semuanya terjun bebas tanpa parasut.

-

Tapi tenang saja, Juni. Saya tidak hanya menyalahkan kamu. Di belakangmu, si Juli, Agustus, September sampai Desember juga memperburuk keadaan. Berjalan di bawah cuaca kalian sangatlah buruk. Sangat buruk sampai saya rasa mau mati. Untung saja saya tidak gila. Semua yang sudah berlalu memanglah berlalu, tetapi sejatinya ingatan tidak akan berlalu jika itu penting. Artinya, perjalanan di bawah cuaca kalian sangatlah penting untuk saya sekarang ini.

-

Saya tidak akan menemukan arti dunia jika waktu itu cuacamu cerah.
Saya tidak akan menemukan musik yang selalu membangunkan saya,
Saya tidak akan menemukan siapa teman saya sebenarnya,
Saya tidak akan menemukan apa arti berusaha,
Dan saya tidak akan menemukan apa itu rela, maklum, dan rasa tidak peduli.

-

Saya berhutang kepada cuacamu karena hari ini saya rasa saya menjadi seseorang yang lebih baik walaupun banyak polemik di sekitar sini.

-

Saya ingat hari pertama mendungmu. Diawali dengan telepon durasi satu jam, dan esoknya, menjadi meja kejujuran. Dari sana mendungmu berganti menjadi hujan.
Semua menjadi sangat rumit, egois, bodoh, dan marah.
Saya menjadi manusia yang membesarkan emosi.
Karena saya ingin tahu siapa yang betah menghadapi hal paling jelek dari saya.

-

Saya ingat lagi di bulan Juli. Semuanya jadi semakin hitam dan petir bulan Juli makin mengilat. Matahari itu datang tanpa permisi dan menyilaukan mata saya tapi membinarkan mata seseorang. Di sana saya tidak tahu berbuat apa selain berteduh di bawah hujan, iya, berteduh.

-

Sampai pada Agustus, saya ingin semua berakhir. Saya ingin menghubungkan kembali kabel-kabel pada relasi saya. Saya ingin menghubungkan kembali.......
Tapi ternyata tidak bisa.

-

Saya hanya kabel putus di satu hubungan.

-

Masuk September, mula-mula ada Pelangi karena saya mulai tinggal di rumah baru yang tuannya sangat mengerti bagaimana cuaca di luar. Saya mulai nyaman dengan tuannya untuk bercerita dan semua masalah keluar begitu saja mengurangi beban walaupun setiap sore saya masih bermata bengkak. Dan tanggal yang paling saya ingat, 15 September, Tuan itu memberikan saya lagu. Lagu yang membuat saya bisa berjalan lagi.

-

Oktober, semuanya tentang penghapusan. Dari kenangan-kenangan zaman dulu hingga senyum sore kemarin. Saya berusaha menghapus di bawah langitmu yang gelap. Dan di Oktober, hujan sudah mulai reda.

-

November, hadir lagi hujan sampai es batu. Semuanya patah dan kenangan yang dihapus terisi lagi. Putus asa lagi, dan di November, siapa yang masih mau mendengarkan cerita 3 bulan yang tidaj ada perkembangannya?
Jadi saya berjalan sendiri.

-

November yang saya jalani sendiri membuat Desember lebih ringan. Saya mulai menerima bahwa orang-orang tidak selalu ada untuk membantu saya. Saya mulai rela untuk melepaskan orang-orang yang tidak lagi mempunyai kepentingan dengan saya.

-

Dari menangis dan marah, berlanjut ke puncak, sampai sekarang saya sudah mulai terbiasa dengan cuaca-cuaca seperti ini. Di Desember, hujan menjadi ringan, malah tidak hujan dan tidak mendung tetapi juga tidak cerah.
Saya hampa.

-
Tidak bisa merasakan apa-apa, sampai saat itu saya ingat, saya tertawa pada hal-hal kecil yang tidak penting hanya untuk menguji apakah saya masih biss tertawa dengan bahagia. Saya mengingat bulan-bulan lalu, saya pula mencoba bersedih tetapi tidak bisa.

-

Desember, saya bukan lagi manusia.

-

Desember akhir membuat saya sadar, apakah menjadi dewasa berarti tidak lagi merasakan sesuatu? Karena dari media-media keseharian, saya sering kali membaca bahwa menjadi dewasa tidaj menyenangkan dan tidak menikmati hidup.

-

Apakah saya sudah dewasa?

Saya terus mencari, semakin saya mencari, semakin saya tidak merasakan apa-apa.

-

Dan pada satu titik, saya tidak percaya siapa-siapa walaupun itu adalah teman satu jiwa saya. Saya mengalami krisis kepercayaan.

-

Sampai sekarang,
Terima kasih, Juni, saya menemukan orang-orang yang memang ada di pihak saya,
Saya sudah menemukan rasanya menjadi manusia sungguhan,
Saya sudah menjadi manusia yang lebih krisis dan kritis,
Dan itu menyenangkan.

-

Inilah perayaan patah hati saya. Suatu peringatan untuk cuaca yang sangat hitam di 2015.

-

Teruntuk tanggal 16 Juni 2015 - 31 Desember 2015,

Spesial disampaikan kepada orang-orang yang terlibat, yang mungkin saja dahulu pernah bertanya mengapa saya begitu jelek dengan sifat saya,
Ya, karena saya sedang sulit.

-

Terima Kasih kepada manusia-manusia yang bertahan sampai sekarang dengan saya.

Terima Kasih kepada playlist lagu yang selalu menemani saya:
10969
KODALINE
MAROON 5
Mary Lambert
Evanescence
Tulus
Sam Smith
Ne-Yo
Christina Aguilera
Regina Spektor

Haha, welcome to the new page.

Tuesday 24 May 2016

Sekarang gue berada di ujung kehampaan.
Setelah tidak merasakan apa-apa, hari ini, gue bisa merasakan sesuatu, tapi tidak ada sesuatu yang bisa dirasakan.

Gue memang manusia yang tidak pernah bersyukur di tulisan-tulisannya. Gue memang hanya mengeluh dan gue gak peduli. Dimana lagi gue harus mengeluh bebas tanpa syarat?
Dan hari ini, gue akan mengeluh dengan kedilemaan yang merangkap setiap atmosfer hubungan manusia.

Kata manusia lain, jadilah diri sendiri. Tapi nyatanya, yang lain mencaci dengan "Lo harus merubah diri lo. Bagaimana lo bisa diterima di hadapan masyarakat?"

Lalu berlanjut pada

"Ngapain lo ngerubah diri lo biar diterima masyarakat? Harusnya mereka yang berubah, bukan lo."

Klisenya, bagaimana merubah pikiran masyarakat tentang diri lo. Gimana? Gimana caranya?

"Yaudahlah, lo gak usah dengerin kata mereka. Tinggal tutup kuping." Kata manusia tadi.

"Nikmatin aja lagi, kata-kata mereka tuh bisa ngedongkrak lo biar jadi manusia yang lebih baik." Sahut manusia lain dari seberang.

Kenapa bumi ini sangat dilema? Maksud gue, yang mana yang harus gue ikutin? Dan gue sudah pernah mengikuti dua-duanya. Alhasil, ujungnya sama-sama di jurang. Inilah alasan mengapa Allah ada dan mengapa Allah menciptakan hati nurani yang bisa berbicara.
Itukah yang harus gue ikuti?

Bumi memang sangat dilema,
Mereka bilang "tersenyumlah" lalu mereka bilang lagi "menangislah, itu manusiawi"

Ketika menangis, masih saja diomongi dengan "Lemah banget sih" lalu ada lagi yang membela "Dia itu wanita" lalu ada lagi yang menghampiri dengan "Cih, hanya wanita bodoh yang menangis semalam suntuk" dan akhirnya, mereka bertengkar.

Jalan satu langkah ke depan,
"Ngapain sih berteman sama anak eksis? Entar juga dia lupa sama lo"
Dihampiri lagi dengan "Ya ngapain juga temanan sama anak bloon kalo yang eksis lebih setia?"
"Mana ada anak eksis pertemanannya longlast, buka mata lo."
"Lah? Liat diri lo sendiri, emang pertemanan lo longlast sama mereka?"

Gue terus-terusan dirundung seperti ini. Gila rasanya.

Jalan lagi dan akan menemukan,
"Kurusin kali. Ga ada yang mau deket sama lo."
"Ah, ngapain, ga apa lo begini, jadi lo tau siapa yang bener-bener temen lo."
"Ya, gak bisa gitulah. Emang lo mau ga dapet cowok?"
"Ya kalo dia ngomong gitu, cowo-cowo di luar cuma ngeliat fisik doang, dong? Udah ga usah."

Dan yang paling mengerikan,
"Untuk apa solat?"
"Emang lo ikhlas solatnya?"
"Emang Allah mau ngabulin lo?"
"Ga ngaca ya lo banyak dosa?"
"Lo ga sa...."

Diem.

Gue mau jadi diri gue sendiri aja,
"Emang lo bisa nerima diri lo sendiri? Yang lain aja nggak."

Persetan dengan lo semua.

Wednesday 20 April 2016

Gue pengen curhat
Lebay tapi.

Tapi ini blog gue, jadi yaudah.

Bentar lagi gue perpisahan,
Gue tau, sih, nangisin perpisahan tuh udah kayak ana-anak yang bisa cuma nangis, gak mikir ke depan.
Gue tau, perpisahan itu cuma simbol kalo kita berakhir di suatu tempat, bukan berarti selesai di ujung situ, masih ada dimensi waktu di depan.

Tapi, siapa yang tahu kalo kita masih ada waktu?
Sebelum pisah, gue pengen ketemu sama kelompok gue, yang dulu.

Gue pengen nonton film bareng.
The Conjuring, Annabelle dan Insidious 3.
Gue juga pengen ngumpul-ngumpul. Di rumah Harkit atau di Taman Vic.
Gue pengen lagi jalan-jalan.
Naik mobil atau naik motor, ke Serpong sampe Kampung Nirwana.
Gue pengen bareng-bareng lagi.

Gue pengen denger notifikasi LINE yang gak berenti sampe 99+
Gue pengen denger, "Main gak butuh modal yang penting gawe".

Iya, gue pengen ngumpul. Sebentar aja, 1 jam juga jadi.

Gue mau ngumpul buat terakhir kali.
Terakhirnya terakhir.

Tapi gue gak mau ngomong, itu salahnya gue.
Karena gue takut, gue cuma angin lewat dan ngeganggu aktivitas orang lain.

Iya, cuma gue aja yang belum move-on. Yang lain keliatannya baik-baik aja, sih.

Berarti, gue aja kali ya yang harus mengurungkan niat gue.
Jadi, yaudah.
Thanks

Wednesday 13 April 2016



 
Posteight'11,
Lagi-lagi Posteight'11 di tahun kedua lanjut ke tahun ketiga.
Hari ini udah tinggal nganggur, ya walaupun masih berjuang buat SBMPTN,
Sekarang tinggal countdown-nya perpisahan aja.

Sebelumnya, kita sibuk masing-masing mengisi otak dengan pelajaran,
Kita sibuk jajan es teh, sibuk ke kantin pas jam pelajaran kosong.
Kita sibuk memilih universitas, mana yang cocok dan mana yang bakal kecapai.
Dan kita sibuk mengabadikan hari-hari terakhir serta sibuk mempertahankan solidaritas.


Lagi-lagi, kita masih sibuk.
Sibuk berdoa untuk masuk PTN,
Sibuk mikir, "Foto gue di BTS bagus, ga, ya?"
Terakhir,
Kita sibuk memilih tempat perpisahan dan kebaya atau jas apa yang akan dipakai nanti?

Ironinya, dari sibuk itu, kalian terlihat lupa apa itu perpisahan.
Kadang gue bertanya-tanya,
Kenapa di perpisahan itu, kita harus memakai tempat megah saat hati-hati kita kecut karena tahu bisa saja besok tidak bertemu lagi.
Kenapa kita harus memakai pakaian-pakaian berwarna saat sebenarnya hanya hitam dan putih yang pas?
Kenapa harus ada perayaan sebelum perpisahan?

Mungkin jawabannya memang klise,
Bahwa perpisahan pantas untuk dirayakan sebagai hari terakhir yang menyenangkan dan di perayaan itu, setiap orang bisa mengingat memori yang dulu, karena, siapa yang tahu jika memori tersebut nanti akan hilang tertumpuk dengan yang baru.

Ternyata, kita sudah hampir di ujung waktu, 3 tahun bareng itu gak sebentar. Banyak teori-teori kehidupan yang bisa diambil.
Sudah bisa dibilang dewasa, karena katanya, sehabis SMA adalah dunia yang mengerikan. 
Rengek-merengek tentang perpisahan rasanya kekanakkan, tapi tidak munafik untuk diungkapkan.
Rengek-merengek tentang tidak mau berpisah juga kekanakkan, tapi wajar. Karena sehabis ini, kita tahu bahwa realita memang sewenng-wenang menentukan hubungan manusia.

Kita sama-sama tahu perpisahan itu ada, sama-sama tahu janji saling berkontak itu bullshit, tapi apa salahnya sama-sama berdoa untuk mewujdukan wacana bertemu di hari lain?

Ingat di saat bersama naik ke atas tangkuban perahu dan ingat di atas punggung Bromo. Jangan lupa juga tentang menang di Hari Kartini dan hampir menang di Pusel Delta.


Jangan lupa pernah menang perkusi kelas 10.

Tangkuban.

Kelas 11, menang, yak?

Putri Delta.

...

Jangan lupain Pak Ari.
Hehe,
lebay, sih, tapi gak apalah.
Bye, moga-moga sukses, ya, entar.



Sunday 10 April 2016

Ingat, aku hanya bercanda menulis ini.

-Aku lelah menulis-

Aku lelah menulis surat cinta untukmu,
Karena tumpukkan surat ini sudah membentuk buku setebal novel Harry Potter.

Aku lelah menulis surat menangis,
Karena aku kehabisan kata untuk mengeluhkan apa yang harus kutangisi.

Aku lelah menulis surat bahagia,
Karena bahagia mudah sekali aku dapatkan hanya karena melihat ujung rambutmu.

Aku lelah menulis surat peringatan,
Karena peringatanku untukmu tidak pernah dibaca, iya, karena memang tidak sampai.

Aku lelah menulis surat perintah,
Karena apa yang aku perintahkan tidaklah wajar, seperti, jangan mengajakku berbicara bahkan perintah menjauhiku.

Aku lelah menulis humor,
Karena humorku akhir-akhir ini sedang gagu dan kau pun tidak lagi membacanya

Aku lelah menulis teka-teki,
Karena teka-teki itu tentang rasaku yang bahkam kamu tidak bisa membaca tulisanku apalagi mengartikannya.

Aku lelah menulis berita,
Karena terlalu banyak berita tentangmu yang harus aku tulis agar tidak lupa. Tentang senyum pertamamu denganku, tentang wanita di jok belakangmu, tentang perilakumu, tentang humormu.

Aku lelah menulis,
Termasuk menulis kata 'so sweet' di akun orang yang memajang foto denganmu ataupun orang lain dengan relationship goal masing-masing.

Aku lelah menulis ini semua,
Aku ingin berhenti menulis tapi tidak juga ingin melupakanmu.

Aku ingin istirahat, sebentar saja sampai jemariku tidak kaku lagi dan bibir tidak kelu lagi.

Dan aku ingin menulis surat lain,
Seperti surat cinta yang asli.

Yang berisi tentang kita, bukan hanya kamu, bukan hanya aku.

Aku ingin menulis perangaimu sampai satu eksemplar.

Aku ingin menulis caption tentang foto yang bisa aku pasang.

Satu lagi,
Aku ingin berhenti,
Berhenti menulis bahwa surat seperti ini adalah bercanda.

Jadi, gue adalah anak kelas 3 yang lagi Ujian Nasional.
Iya gue tau ini udah tanggal 10 April, dan UN udah lewat semenjak 4 hari lalu. Taoi itu UN pbt, yang pake kertas.

Gue anak Cbt, Computer based test dengan kata lain, gue ujian 6 hari. Senin, selasa, rabu, kamis, senin, selasa. Iya, longkap 3 hari.

CBT punya positif dan negatif. Positifnya, gue gak perlu nyari pensil 2B, rautan, dan teman-temannya.
Gue pun gak perlu ngebuletin jawaban yang memakan waktu 5 detik.
Gak perlu salah ngisi nomor.
Gak perlu merhatiin garis keluar.

Dan...
Negatifnya adalah
Gue Ujian lebih lama
Server bisa aja ada kendala
Dan ada pembagian sesi.

Nah, Kita ini dibagi jadi 3 sesi.

Sesi 1: 7.30 - 9.30
Sesi 2: 10.30 - 12.30
Sesi 3: 14.00 - 16.00

Yang paling mager itu kalo dapet sesi 3, siang banget dan rasanya udah keburu ngantuk.
Tapi yang paling enak, juga sesi 3, bisa tidur siang bentar. Wk

Nah.. gue gak keberatan dengan cbt, malah gue mendukung, karena minim biaya dan minim human error, maybe.

Terus, gue juga pengen cerita jadi anak IPS 3 tahun.

You kno wut? Jadi anak IPS tidak semudah meme buatan orang..
Yang katanya, sering ada jam kosong
Katanya materinya gampang
Katanya jawab soal mah tinggal tutup mata
Katanya, tasnya pada kosong melompong.

NO.

Rasain dulu jadi anak IPS. Ya mungkin ini di sekolah gue. Tapi, serius, anak IPS gak boleh digituin..

Pada mikir, 'yaelah sosiologi mah kaga usah belajar'.
Rasain dulu ngerjain soalnya. 5 pilihan, dan semuanya bener. Lu harus jawab mana yg paling bener.

Geografi, lu gak bisa nerka2, mana lempeng samudra mana lempeng benua. Intinya belajar.

Dan satu lagi, ekonomi. Fakuy otak gue emang udah bebel.

Gue belajar IPS, lebih seneng belajar Geografi, Sosiologi, dan sejarah. Entah kenapa ekonomi tiada di hati gue. Secuil pun, yah setidaknya teori kebijakan moneter dan kebijak fiskal sih.

Karena..

-gue akan mulai mendramatisir-

Belajar geografi,
Secara gak langsung, gue itu mempelajari bagaimana alam bekerja. Dan itu sangat amazin. Bagaimana Allah menciptakan alam, dari darat, air sampai udara dapat bekerja dengan seimbang.
Membuat gue pengen tahu tentang pelajaran geografi.

Belajar sosiologi
Ini juga sangat keren. Gue mempelajari bagaimana masyarakat dan kelakuannya. Gue bisa bergaul di dalam kehidupan, lalu muncullah kelompok sosial, ujungnya bisa integrasi kuat atau disintegrasi. Dan sekarang, semua teori sosiologi tuh masuk akal, karena memang manusia itu ya begitu..

Dan Sejarah,
Sejarah yang bikin gue suka sama IPS. Karena mempelajari masa lalu dapat membangun masa depan. Keren rasanya pas lo tahu perkembangan bumi dari dulu sampe sekarang, perkembangan manusia dari monyet sampe jadi ganteng.
Konflik besar yang dulu ada, penemuan-penemuan.

Kenapa gue gak suka ekonomi?

Gue rasa, Ekonomi menyebabkan kekacauan di 3 ilmu yang gue sukai.

Geografi.
Alam semakin habis karena kepentingan ekonomi

Sejarah,
Ya.. emang gak ada hubungannya, sih.

Sosiologi
Disintegrasi di realita biasanya karena apa?
Karena uang.

Ekonomi yang ada di benak gue itu selalu berbicara uang, uang yang membudaki manusia, uang yang bisa menghabiskan alam, uang yang bisa mengganti sejarah.

Entah, gue gak bisa meninggalkan interpretasi tentang ekonomi.

Dan IPS menyadarkan gue,

Bahwa Allah itu memang MahaEsa,
Alam berjalan dengan teratur,

Bahwa manusia itu hebat.
Yang beda cuma niat dan usaha,

Bahwa masyarakat dapat bekerja sama,
Jika ada kepentingan.

Bahwa ekonomi adalah hal yang paling penting di dunia.

Dan itulah testimoni CBT beserta pelajaran IPS gue.
Doakan gue lulus, ya.

Friday 1 April 2016

Di H-3 Ujian ini, sekilas aku melihat roda kehidupan yang berbalik.

Sekilas aku melihat aspal yang kita kotori.

Aspal yang kita kotori dengan tawa atau caci maki,
Aspal yang kita injak dengan telapak kaki atau sol sepatu
Dengan roda dua atau roda empat

Melihat bangunan-bangunan ini membuat aku terenyuh. Rasanya ringkih.

Kenapa otak seperti tidak mau melepaskan memorinya?

Aku ditanya, "Sekolahmu sudah mau habis, bagaimana itu?"

Apanya yang bagaimana? Apa yang harus aku jawab di saat aku bersedih ingin berpisah tetapi di sisi lain, aku sangat bosan di dalam tempayan.

Akhirnya, aku menjawab, "Yasudah, bagaimana lagi?"

"Bagaimana dengan orang-orangmu dan yang lainnya tentang sekolah?" celetuk si Penanya.

"Apa? Orang-orangku?" aku mengernyit dan ia mengangguk.

Tidakkah ku salah dengar? Ada yang menanyaiku tentang sekumpulan orang.
Hahahahaha, aku sangat ingin tertawa keras.

Tidakkah ingat? Sekumpulan itu tertinggal di aspal-aspal kenangan.
Tidakkah ingat? Sekumpulanku hanya hidup di dalam galeri.
Tidakkah ingat? Tawanya hanya hidup di dalam voice-note.

"Yasudah, mereka punya hidup sendiri." Aku menjawab.

"Apa kau tidak sadar mereka semua marah denganmu?" ia angkat bicara lagi.

"Mereka memang seharusnya marah denganku." Tatapku kepada matanya yang hitam di dalam genangan air coklat pada aspal yang rusak.

"Aku menyeka air matamu bukan karena peduli.
Menyelipkan anak rambutmu ke belakang telinga bukan karena kamu terlihat cantik.

Perangaimu sama seperti orang-orang yang kamu benci,
Seperti sudah bercermin pada segala umpatanmu,
Air mata ini hanya sandiwara panggung!

Kamu tidak pernah tulus mengeluarkannya.
Kamu terlalu sering bersembunyi di balik sajak, padahal kamu melempari manusia-manusia dengan sajak pesakitan yang kamu buat.

Manusia-manusia itu kesakitan melihatmu,
Ingin menancapkan pisau, setidaknya jarum di atas kulitmu yang gosong.

Musik tidak pernah kamu jadikan obat tiga kali seharimu.

Ini salahmu, bodoh!

Bahkan cermin tidak ingin merefleksikanmu.
Berapa banyak topeng yang kau punya?
Berapa banyak boneka kayu yang kau pahat?
Berapa banyak lembar yang kau umpat?

Otakmu masih sedap karena tidak pernah dipakai.
Matamu masih jernih karena tidak dapat melihat pedih,
Telingamu tuli, tidak dapat mendengar tangisan

Kamu selalu marah dengan alasan ini itu padahal kaulah penyebabnya.

Dasar kau,
Pemarah! Pecundang!

Kau tidak pernah tahu orang-orang berbisik tentangmu.
Kau tidak pernah bisa memberhentikan mulutmu.

Untuk apa menangis karena ditinggalkan kesayanganmu?

Kamu pantas ditinggalkan."

Teriakku di depan cermin,
kepada Aku yang lain,
Yang terjebak di dalamnya.

Wednesday 30 March 2016

Ruangan ini gelap. Hanya ada sepintas cahaya yang masuk lewat celah retak.
Pengap dan panas sudah cocok dengan suasananya.

Ada kursi, buku-buku dan seutas tali yang agak panjang.

Rasanya, otakku telah habis sebelah karena panas mengejar materi.

H-4 Ujian Nasional, apa yang kamu harapkan dari otak yang rusak?

Kamar ini gelap, cocok untuk melakukannya dan aku akan tenang.

Aku mengambil seikat tali itu, aku kumpulkan buku-buku yang telah aku makan habis, biar mereka jadi saksinya. Kusimpulkan tali itu dan aku melihat sesuatu yang sangat menyejukkan yang membawaku ingin melakukannya.

Aku menyimpulnya, naik lalu turun, lalu kukencangkan.

Aku tidak tahan. Aku lelah. Untuk apa berusaha jika tidak ada hasil.

Aku menaikki kursi, meraih lemari, memegang erat lemari agar aku tidak terjatuh dan langsung menggelepar. Ku angkat tali tersebut. Aku memikirkan semuanya.

Tenang saja, aku hanya pergi sebentar.

Mengapa harus terjaga jika terlelap itu adalah kenikmatan?

"BRAK" kursi terjatuh, aku meringis, membayangkan semuanya. Keringat membanjiriku, aku tidak bisa bernafas, tidak ada oksigen di ruang pengap ini.

Selamat tinggal, Ujian Nasional. Selamat tinggal buku-buku, rasanya aku senang walau masih meringis.

Inilah akhirnya.

×××

"Ctek" tiba-tiba lampu ruanganku hidup. Ternyata PLN sudah menyalakan aliran listirknya. Angin sepoi berhembus lewat air conditioner.

Aku sadar. Aku tergelepak di lantai dengan sisi buku yang aku simpul tali mencuat sedikit keluar lemari. Bundelan buku yang aku ikat itu segera jatuh

"Brak", habis sudah menimpaku.

Aku hanya ingin tidur, kawan.

Aku mengan...tuk...
#Chill

Monday 14 March 2016

When We Were Young - Adele

Ingat, saya punya satu folder tentang perasaan hati yang selalu dituangkan tiap malam.

Dari x sampai y, sampai saya pulang lagi pada x. Saya punya semua, dalam 3 tahun, di setiap harinya. Menulis itu baik, membuat seseorang tidak lupa dengan hal penting.
Dan berarti, seorang x adalah penting di hal ini.

Sudah terkumpul 148 memori. Berhenti pada angka 148, di tanggal 1 Januari 2016.

Saya sudah pernah mengagumi orang seperti x selama dua tahun, dan dua tahun bukan waktu yang cukup untuk kali ini. Beralih pada beberapa orang, dan akan kembali pada x. Entah kenapa.

Patah hati kali ini menyenangkan. Karena sejujurnya, bisa melihat x menemukan seseorang yang benar-benar nyata adalah kebahagiaan. Bagaimana bisa menyalahkan wanita itu saat ia membuat tersenyum x?
Seharusnya berterima kasih karena dari senyum itu, muncul juga senyum lain.

Melihat pemandangan itu benar-benar bahagia. Toples yang kosong rasanya diberi glitter warna-warni.

Sudah cukup untuk mengagumi dari dekat tapi dengan suara pelan. Saya sudah melepaskan segalanya, karena dalam waktu singkat, saya akan mulai lagi untuk sendiri.

Patah hati yang menyenangkan. Dari pertama melihatnya di samping kanan hari pertama kelas, di atas Bromo, di dalam foto-foto, sudah cukup.

Dari pertama, tugas kewirausahaan, berlanjut pada ulang tahun.

Bintang tidak perlu digapai, menikmati secara visual pun sudah indah.

Haha, bintang 5 akan selalu bersinar dan semoga saja tetap sama.

"Everybody loves the things you do,
From the way you talk to the way you move,
Everybody here is watching you,
Because you feel like home.
You're like a dream come true"

.
.
.

-Bintang 5, 
Est. 27 Desember 2013

Thursday 10 March 2016

Setelah selesai dengannya,
Aku mencoba hal baru.

Berbaur dengan keramaian. Keramaian yang paling menyenangkan adalah yang sesuai hobi,
Dan,
Keramaian yang paling nyaman adalah ramai yang manusianya sibuk sendiri.

Seperti telah mengetahui segalanya, aku berjalan lagi dengan pintu-pintu yang banyak aku hindari.
Dan ternyata, pintu-pintu yang dulu telah aku tutup tanpa sadar, belum bisa terbuka lagi.

Di dalamnya terkunci semua roh yang dulu menemani.

Kini, keramaian mudah sekali untuk dinikmati, sangat mudah bahkan terlalu mudah.
Sendiri di antara manusia lain adalah hal yang biasa.

Semuanya seperti biasa saja. Tidak lagi turun bahkan naik. Inilah rasanya mati semu. Bahkan tertawa saja harus dibuat dan menangis harus mencari alasan. Seperti tidak hidup padahal,

Aku rindu rasanya hidup.

Salahnya, saat aku hidup, aku rindu rasanya mati.

Semuanya kini jelas. Semua tangan yang bergandeng denganku memang masih belum lepas, tapi ada saatnya mereka nanti lepas.
Di saat kepentingan mempunyai cabang yang tidak satu arah.
Sudah terbukti, kepentingan adalah hal nomor satu di hidup manusia.

Seharusnya, pengertian sosiologi tentang
"Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain"
Harus ditambah dengan
"Untuk memenuhi kepentingan masing-masing"

Aku melamun lagi di keramaian ini, melongo ke pintu keluar.
Aku sadar, secara tidak langsung, kita semua adalah korban kepentingan.

Lalu mengapa masih menangis ketika kita ditinggalkan?
Mengapa masih heran?
Aneh, seharusnya kita terbuka,
Itu adalah hal biasa.

Hal yang wajar jika kita takut berkenalan dengan manusia lain,
Aku bahkan menjadi takut untuk mempunyai kenalan
Aku bahkan curiga dengan manusia yang ada di sekelilingku
Aku bahkan mencari tahu,
Apa kepentingan mereka.

Membuatku paranoid, tidak lagi mencari manusia seperti apa yang akan aku dekati,
Tapi malah kepentingan apa yang sama dengan kepentinganku.

Siapa yang harus disalahkan? Ini kenyataan, fakta yang tidak diungkap dengan artikel karena ini hanya perspektif anak SMA yang habis ditinggal relasinya.

Walaupun relasinya masih ada di depan mata, rasanya kosong.

Aku masih merindukan hidup
Tidak.
Aku merindukan relasiku.

Menulis ini, seperti bocah ngelantur yang menggeram untuk mendapatkan permennya.

Aku menulis ini karena kecewa.
Dengan dunia tapi bukan dengan semesta apalagi Tuhan.
Hanya kecewa saja.
Di tahun terakhir, malah mati diam-diam dan mencoba untuk bangkit.

Aku menulis ini karena kecewa
Dimana semua orang?
Manusia-manusia yang dulu ada
Senyum dan tawa spontan, yang tidak dibuat-buat.

Maaf, aku tidak pernah lagi merespon bumi, aku malas
Sudah capek dan sudah bosan
Lebih baik di sini,
Walaupun stagnan.

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff