Hujan, cuaca satu ini sudah hampir menjadi kebiasaan dalam tiga bupan terakhir. Bukan maksud bersedih setiap hujan, tapi rasanya hujan yang datang setiap bersedih.
1 bulan terakhir ini jadi pertarungan sengit dilemanya hati untuk terus atau gerus perasaan yang menyerang. Satu sisi, ada yang berbisik lembut untuk meneruskannya dengan alasan positif hebat tapi di sisi lainnya ada yang berteriak untuk menggerus rasa itu dengan segala jerit kesakitannya.
Baru kali ini aku berpikir banyak untuk meneruskan jatuh cinta. Yang terakhir itu memang dahsyat tingginya jurang. Hati sampai babak belur dan trauma.
Untuk kali ini, aku memikirkan betapa untungnya memiliki euforia baru dan betapa ruginya aku akan memesan makam untuk hati jika jatuh lagi. Yang satu ini, hebat. Ia mempunyai humor yang tak berujung. Seperti biasa, aku jatuh pada laki-laki humoris.
Setiap hari melihatnya. Tidak akan bisa sehari saja aku tidak melihatnya. Karena tempat duduknya berselang kurang dari 50 ubin dari tempatku.
Awalnya aku biarkan hati mandi bola berwarna saat pertama kali aku tertarik padanya. Lama kelamaan, harumnya kekalahan makin tercium. Aku takut akan merobek segala rival yang dekat dengan ia.
Aku takut jika ia hanya pintu kosong berisi jurang lagi seperti sebelumnya.
Aku pun sadar ia memiliki derajat yang jauh di sana. Apa lagi dengan seluruh paras sempurna yang ada di dekatnya.
Hati ini tak lelap untuk sebulan terakhir. Memikirkan timbangan rugi dan untungnya.
Beri aku alasan untuk jatuh pada tuan.