Friday 21 February 2014

Hujan, cuaca satu ini sudah hampir menjadi kebiasaan dalam tiga bupan terakhir. Bukan maksud bersedih setiap hujan, tapi rasanya hujan yang datang setiap bersedih.

1 bulan terakhir ini jadi pertarungan sengit dilemanya hati untuk terus atau gerus perasaan yang menyerang. Satu sisi, ada yang berbisik lembut untuk meneruskannya dengan alasan positif hebat tapi di sisi lainnya ada yang berteriak untuk menggerus rasa itu dengan segala jerit kesakitannya.

Baru kali ini aku berpikir banyak untuk meneruskan jatuh cinta. Yang terakhir itu memang dahsyat tingginya jurang. Hati sampai babak belur dan trauma.

Untuk kali ini, aku memikirkan betapa untungnya memiliki euforia baru dan betapa ruginya aku akan memesan makam untuk hati jika jatuh lagi. Yang satu ini, hebat. Ia mempunyai humor yang tak berujung. Seperti biasa, aku jatuh pada laki-laki humoris.

Setiap hari melihatnya. Tidak akan bisa sehari saja aku tidak melihatnya. Karena tempat duduknya berselang kurang dari 50 ubin dari tempatku.

Awalnya aku biarkan hati mandi bola berwarna saat pertama kali aku tertarik padanya. Lama kelamaan, harumnya kekalahan makin tercium. Aku takut akan merobek segala rival yang dekat dengan ia.
Aku takut jika ia hanya pintu kosong berisi jurang lagi seperti sebelumnya.
Aku pun sadar ia memiliki derajat yang jauh di sana. Apa lagi dengan seluruh paras sempurna yang ada di dekatnya.
Hati ini tak lelap untuk sebulan terakhir. Memikirkan timbangan rugi dan untungnya.
Beri aku alasan untuk jatuh pada tuan.

Friday 7 February 2014

Cuacanya tidak mendung, tidak juga cerah.
Semesta sedang bingung hari ini hujan atau terang.
3 minggu terakhir setiap pagi jadi hari hujan.
Tak hentinya kerumunan air langit menghantam keras genting. Tak hentinya batang dan daun lirih menggigil mencari selimut.
Dan yang pasti, tak hentinya aku basah kuyup sampai sekolah.

Hari inu Sabtu, harusnya tumpukkan itu sudah rapih. Ternyata masih perlu evaluasi.
"Ga lagi-lagi gue SMA. Banyak banget PR.."  gumamku setiap pagi.

2 minggu terakhir jadi pekan paling beramanat dan yang paling menuai literatur. Lihat memo di handphoneku, itu kata-kata dari dewi fortuna? Takjub aku lihat kerja otak yang spontan itu. Walaupun tulisan itu tidak semahakarya Andrea Hirata, Winna Efendi atau Raditya Dika. Tapi itu maha karya otak ku jika sedang gila.

Sabtu Kalut, ia bertanya pada kegiatanku, adakah jam kosong?
Sudah 2 Sabtu ia bertanya seperti itu. Lagi-lagi aku jawab, Tidak.
Lagaku seperti pejabat korupsi yang berkali-kali diundang KPK.
Tapi, memang aku jujur, aku tidak bisa. Hari kemarin harus kumpul, hari ini harus kumpul.
Untung ada obat stress secara LIVE disematkan Tuhan di beberapa sesi hidupku setiap hari.

Tapi sebenarnya inti dari ini,
Sabtu ini kalut, tugas dimana-mana. Belum selesai satu tugas tambah lagi dua tugas. Mengapa tugasku tidak didasari dengan lagu anak ayam?
"Tekotek kotek kotek anak ayam turun 5 mati 1 tinggal 4"

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff