Hari ini, saya menemukan kegetiran itu. Memang belum terlalu puncak, tapi di sini saya akan meluapkan getir saya dalam menjalani skenario hidup.
Getir itu saya kemas dengan kemasan Tuan dan Tanah. Maka, saya beri penjelasan tentang Tuan dan Tanah dari pikiran saya.
Tuan yang tidak bertanah adalah simbol dari kebebasan tetapi diimbangi dengan kehilangan dan kekosongan karena ia tidak memiliki tanah.
Tuan yang tidak bertanah ini selalu gelisah saat mencari tanah yang dirasa 'sreg' dengannya.
Adakah tanah subur yang mampu memekarkan taman untuk ia telusuri? Atau memang, selama pencarian tanah ini, ia terlanjur percaya bahwa tidak ada lagi tanah yang ia harapkan? Atau malah, tanah sempurna itu sudah ditancapkan dengan papan nama orang lain?
Gelisah itu berlarut di dalam dirinya. Bukan hanya hati, pikiran pula. Berlarut-larut, sampai ia bosan membuka layar kapalnya lebar. Sampai ia muak dengan semua celotehan awaknya tentang betapa sempurnanya tanah-tanah yang ia pernah kunjungi. Sungguh, sampai ia tertelan ke dalam rasa tidak nyamannya sendiri.
Bahkan ia belum pernah sadar, tanah itu telah ia lewati berkali-kali. Telah berganti papan nama berkali-kali.
Bahkan ia tidak pernah tahu, perjalanannya hanya sekedar putaran tanpa tembok pembatas.
Si Tuan tidak perlu lagi melepas layarnya, seharusnya, ia sudah beristirahat, menabur bijih bunga agar ia bisa tertidur nyaman di tengah taman itu.
Tetapi, tampaknya Tuan itu tidak akan pernah sadar terhadap tanahnya, sampai kapalnya dirusak semesta hanya untuk menyadarkannya.
Sementara, Tanah yang tidak bertuan ibaratnya kekosongan yang seolah-olah gersang dengan terpaksa. Kekosongan yang tidak bisa berpindah tempat, tidak bisa mencari tuannya dan hanya bisa menunggu dihampiri. Walaupun tanah itu akan tumbuh subur, menumbuhkan bunga indah, merah merekah, namun, sampai tanah itu berdarah, ia tak akan berguna sampai ada Si Tuan yang 'terdampar' di tanah itu.
Itu pun adalah tanah subur. Jika tanah tidak bertuan yang lain adalah tanah gersang, retak, dan kering, adakah yang akan menghampirinya?
Walaupun ada yang terdampar, tanah itu seperti tidak layak untuk dihampiri, malah Si Tuan lebih memilih untuk hanyut kembali daripada harus mengutuk tanah itu sampai ia mati. Padahal, Si Tuan itu tidakkah ia mengetahui mengapa tanah ini kering hingga ia tak layak disebut tanah?
Padahal, tanah itu hanya perlu sentuhan kecil, hanya perlu dirawat tanpa ada kerusakkan lagi.
Tidakkah tuan tahu? Tanah ini sudah dirusak oleh sekian tangan. Ia perlu tangan yang lebih lembut untuk menjaganya.
Getir itu mulai menjadi dilema. Lelah menunggu, sampai ia putuskan bunuh diri dibawa ombak besar.
Mungkin tanah kering itu sadar, tuannya tidak akan pernah kembali lagi dan tidak akan ada tuan lainnya. Bahkan untuk membuat pusara bagi tuannya pun, ia tidak pernah layak.
Bahkan keyakinan terhadap semesta mungkin sudah buyar.
Harapan untuk menumbuhkan kembang di lahannya telah pupus.
Dedaunan kering telah tersapu angin.
Batang yang ringkih telah jadi simbol ia tidak akan pernah punya tuan lagi.
Tanah yang kering sudab menjadi tanda bahwa ia adalah retakkan yang tidak bisa membaik dengan sendirinya.
Jadi, saya kira, jawaban pertanyaan di atas akan sangat mudah.
Siapakah anda? Apakah Tuan tidak bertanah, atau Tanah tidak bertuan?
Lalu, siapakah saya?
Anda tahu jawaban itu, karena andalah yang membuat pertanyaan ini lalu membisikkan di atas lahan saya yang sudah ditancap nama Tuannya, yaitu nama anda.