Thursday 26 March 2015

"Bro, jual aja tuh Corolla lo. Jual sama gue sini, tapi harga nego ye," sahut Dery.
"Kaga ah, mending gue simpen 3 tahun lagi paling jadi barang antik harga tinggi," gue terkikik.
"Ah, ga seru. Lagian itu hanya kaleng beroda, tau ga. Hahahaha"
"Enak, aja, mobil antik gini banyak kenanangannya, cuy"
"Kayak pas lo nembak Cory? Wkwk, elah, bro, lepasin aja." Dery menyebut nama itu lagi.
"Ah, lo, ga usah sebut lagi, deh, nanti gue pikirin dulu," gue meninggalkannya dan langsung menuju parkiran.

****

Corolla merah itu memang menarik mata. Suara derunya pun mengundang suara mobil balap. Joknya berwarna merah, dashboardnya berwarna cream.
Ini mobil yang gue sayang, entah kenapa.

Gue menaikki mobil itu. Lalu menarik persneling dan menuju suatu tempat. Semua bagian dari mobil ini utuh, hanya satu yang tidak ada.
Seseorang yang biasanya duduk di jok depan sebelah kiri tidak lagi ada. Entah ia kemana. Hal ini yang gue tidak suka. "Entah ia kemana".

**
Gue ingat tanggal itu. 9 Februari 2011, hari Minggu.
Malam itu cerah, namun tidak berbintang. Konon, itulah tanda-tanda malam yang akan turun hujan.
Waktu itu gue terus menatapnya. Wanita spesial ini punya senyum luar biasa, tidak hanya lekukan biasa.
Restoran itu rasanya milik berdua. Sudah 5 bulan gue ingin menyatakan sesuatu, 5 bulan sudah gue ke sana ke sini dengan wajahnya yang menjangkiti pikiran gue.
Entah kenapa, malam itu rasanya jadi malam yang pas untuk memberi tahu segalanya.

"Ry, gue mau ngomong, deh," gue mulai membuka topik.
"Ngomong apa?" Cory menatap gue.
"Emm, sebenernya, gue itu..." gue berhenti, lidah rasanya kelu. Betapa berkeringatnya gue malam itu.
"Apaa?" Cory menyentuh tangan gue.
"Ah, sebenernya gue suka mie goreng daripada dimsum," gue ngawur.
"Yehh, elu bukannya mesen mie. Yaudah, mau mesen, nggak?" tanyanya.
"Nggak, gak usah.." pecundang memang tidak pernah lepas.

Dari sana, gue beranjak, gue menyimpan lagi kata-kata yang seharusnya sudah keluar. Kami memasuki Mall dan sekedar berjalan adalah hal yang menyenangkan bagi gue, tapi entah Cory merasakan apa.
Malam semakin larut, kami masih duduk berdua di sebuah taman mall. Sudah seperti orang yang berhubungan saja, padahal hanya teman biasa. Malam semakin kosong, mulai banyak petir menyambar, ini waktunya untuk pulang.

Gue mengajak Cory pulang dan membukakan pintu mobil untuknya. Ia selalu duduk di jok itu. Kami selalu berdua di mobil itu. Gue pun lupa bagaimana kami bisa sespesial itu. Tapi, yang gue tahu, setiap Cory sudah duduk di jok itu, mobil ini rasanya utuh.

Benar saja, hujan turun dengan perlahan. Sudah pukul 23.05, Jakarta masih saja ramai. Para pejalan kaki berteduh bersama pengendara motor. Lengang rasanya hanya mobil saja yang ada di jalan. Gue langsung memikirkan kata-kata yang tadi gue urungkan. Ini saatnya.

"Cory, jadi gini, ya, gue mau ngomong sama lo. Gue suka sama lo, udah lama, sebelum kita kenal. Udah lebih dari 5 bulan. Jadi gimana?" Gue mengatakan itu dengan cepat lalu menatap Cory.

Cory hanya tersenyum. Senyumnya entah melambangkan iya atau tidak atau malah meremehkan. Perjalanan jadi hening semenjak itu. Cory hanya menatap jalan, dan gue mulai pusing melihat wiper mobil yang bulak-balik. Sebenernya, gue pusing, apa Cory akan membalasnya?.

1 jam 30 menit sudah, rumah Cory sudah di depan mata. Sayangnya, Cory belum juga menjawab itu semua. Cory membuka pintu mobil, ia keluar tanpa tanda perpisahan seperti biasanya. Gue hanya diam. Melihat ia yang hilang di belakang pagar tinggi rumahnya. Gue menunggu, tidak tahu menunggu apa.

15 menit kemudian, pagar hitam itu dibuka seseorang. Ternyata Cory. Ia berlari kecil ke arah gue, dan mengetuk jendela.

Gue diam, dia juga diam. Dia menunggu apa? Padahal, gue sedang menunggu jawabannya itu.

"Kalo nggak, juga ga apa, Ry. Santai aja" gue menatap stir mobil, tidak berani menatapnya.
"Iya, Han, gue juga suka sama lo," tetiba gue merasakan sesuatu yang bahagia. Ternyata Cory mencium pipi gue. Di sana, gue tidak sempat melihat wajah Cory. Tidak sempat melihat mata Cory. Ia dengan cepat berbalik arah dan lagi'lagi menghilang di balik pagarnya.

Gue kira ini adalah malam yang sangat bahagia, malam yang bisa mengudarakan hati yang senang, malam yang bisa merubah hujan menjadi anak-anak dandelion yang cantik, ternyata tidak.

*
Gue bergegas menjemput Cory pagi itu. Tentu ke rumahnya. Dengan membawa nasi goreng buatan gue, semangat penuh dan cinta yang menyenangkan menemani gue di jalan.
Sampai di depan rumahnya, gue menunggu, mengirimi Cory pesan dengan sticker-sticker ala orang-orang yang saling mencintai.

Gue menunggu sudah satu jam. Seketika, keluarlah satpam yang biasa menjaga rumah Cory.

"Mas Jehan, nyari Cory, ya?" tanyanya.
"Iya, Pak Agung, dia udah berangkat duluan, ya?"
"Wah, dia udah berangkat dari jam 2 pagi, tuh, mas," ujarnya.
"Ha? Kemana?" Gue heran.
"Lah, mas ga tau, kalo Cory sama keluarganya pindah ke Turki? Si Bapak kerja di sana, jadi pada pindah." Jelasnya.
"Oh, gitu, ya, kapan balik lagi?" Gue tercengang.
"Ga tau, deh, mas, kayaknya ga balik lagi. Ini rumah hari ini juga ada yang mau ngontrak."
"Oh gitu, makasih, Pak".

Pagi itu, hari gue patah. Patah hati. Malah, bukan patah hati, hati gue pecah. Entah keping mana yang harus gue selamatkan. Menyalahkan Cory pun tidak ada gunanya. Menyalahkan diri sendiri juga tidak rela, apalagi menyalahkan Pak Agung.

Semuanya menyedihkan pada hari itu. Gue bolos kuliah, gue masuk ke dalam selimut seharian. Demam menjadi-jadi selama seminggu.

Cory pergi tanpa pamit. Bahkan perginya tanpa meninggalkan tatapan terakhir saat malam itu karena gue tidak sempat.

****
Saat itu juga, sampai sekarang, gue menyimpan Cory di tanah paling dalam, di atap paling atas dan di tembok yang paling keras. Gue tidak lagi menyebut namanya, walaupun ada kangen yang kadang mengiris, tidak lagi menghunus. Pedang rindu itu tidak lagi mempan untuk menembus tembok air mata.
Laki-laki pun boleh menangis, bukan?.

4 tahun gue tidak lagi melihatnya. Bersapa pun tidak pernah karena tidak tahu akunnya.
4 tahun tidak ada lagi yang duduk di jok depan ini.

Ditunggu buat gagu, dilepas malah buat kebas.
Ini namanya kangen.
Kangen luar biasa dari seorang yang diduga biasa, yang selalu ada di sini. Di tempat yang Dery sebut "Hanya Kaleng Beroda".

Gue kangen.

----------
Hello, sekarang gue bikin satu label. Namanya Shorto. Singkatan dari Short Story wkwk.

Kenapa gue bikin Shorto?

Karena gue seringkali mikirin suatu cerita. Cerita yang terlalu singkat untuk dijadikan macem novel.
Jadi dari situ, agar pikiran-pikiran berupa cerita itu gak ilang gitu aja, gue bikin label Shorto ini.

Iya, soalnya kalo nulis di Wattpad, nanti kependekan..
Hehe, yaudah.
😊😀

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff