Sunday 28 June 2015

Selamat siang
Jika Anda setidaknya melihat atau malah membaca, apa kabar?

Biar saya memberitahukan anda bagaimana ia selama ini merawat tamannya sendiri.

Tamannya memang sudah rusak dengan semak belukar yang menjerat, daun yang gugur, pohon yang agak meranggas, tapi dari sana, ia masih selalu mengunjungi tamannya. Jika sempat dan mau, ia membersihkannya, duduk di bangku panjang menghadap latar yang cukup sepadan dengan indah.

Demi tamannya, ia bisa meninggalkan tempat nyamannya. Rumah megah miliknya yang hanya dihuni satu manusia walaupun terkadang ia mengadakan pesta borjuis di sana, sekedar menghibur saja, padahal, ia akan selalu merasa sepi setiap tamunya pulang.

Satu yang ia pantau dari tamannya.
Ia selalu menggunting mawar yang akan tumbuh.
Ia masih takut untuk melihat mawar.
Bunga yang indah namun menikam dengan durinya.

Sampai kepada satu hari,
Ada ketukkan pada pintu jati miliknya.
Seseorang yang tak pernah asing dan tidak pernah ia biarkan memasukki rumahnya.
Orang itu terasa selalu menunggu dibukakan pintu sementara ia menunggu di baliknya, berdoa agar segera pergi.

Lambat laun, doa itu rasanya kurang diberkahi, malah mendobrak kayu itu.
Ia ketakutan, bingung, hingga tidak ingin bertemu orang tersebut.

Seseorang itu duduk di sofanya, malah sekarang ia berhadapan dengannya.
Ia diam, lalu percakapan dimulai dari pihak seberang.
Takut itu mulai menjadi rasa senang.
Ringisan itu mulai menjadi tawa.
Kebingungan bahkan mekar menjadi nyaman.
Entah apa yang ia rasakan, yang ia tahu pikirannya sudah hilang.

Obrolan sofa tersebut menjadi hangat dengan dua gelas teh panas.
Ia mulai menyilangkan kaki tanda ia menikmati.

Namun ia lupa dengan mawarnya.
Ia lupa menggunting mawar yang tumbuh.
Seakan ia teringat, berlarilah cepat ke tamannya.
Aneh, mawarnya sudah tumbuh dan menjadi liar lebih dari yang diekspektasikan.
Ia mengambil gunting dan membawa orang tersebut melihat mawar yang bermekaran itu.

Ironinya, bahkan orang tersebut menyembunyikan gunting yang akan dipakai untuk memotong.
Orang itu memberikan harapan kepadanya agar ia membiarkan mawar-mawar itu bermekaran.
Ia hanya terhipnotis sampai ia memang membiarkannya.

Pada hari terakhir di minggu kedua, ia kembali duduk di bangku taman tersebut, tentu bersama orang itu. Ia memandangi mawar-mawar indah, seakan-akan ia lupa rasanya melihat merah yang begitu pekat tapi memikat.
Ia beranjak.
Mengambil setangkai mawar walaupun ia tahu durinya bisa membuat ia berdarah.

Tangannya menjulurkan mawar kepada seorang itu, tetapi apa yang ia dapatkan?
Jarinya yang mengeluarkan darah bergetar, mawar yang ia ambil dilempar begitu saja.
Lalu ia diseret lagi kepada mawar-mawar itu.
Orang itu memuji indahnya mawar yang ia miliki, setidaknya pujian dapat mengobati jarinya yang gemetar.

Tapi ternyata tidak.
Ceritanya belum pernah berakhir bahagia.
Orang itu mendorong jatuh ia ke dalam kumpulan tangkai berduri tersebut.
Ia terjerembab.
Segalanya dipenuhi luka.
Ia termakan lupanya sendiri atas mawar itu.

Seorang itu telah menutup pintu utamanya lagi saat ia mulai bangun.
Pagi itu ia merasakan bangun dengan keadaan yang tidak pernah mengenakkan.
Bangun dalam keadaan ditinggal dan luka yang bertebaran.
Ia bahkan tidak bisa menyalahkan seseorang itu karena ialah yang lupa menggunting.

Ia bangkit seolah-olah ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Air matanya tidak lagi basah.
Hanya sesak yang dirasakan.
Sesak itu membuat ia gila.

Kegilaan itu memberinya semangat untuk mengambil bensin sebanyaknya dan ia hilang kendali dengan memadukannya dengan korek api.

Mawar itu ia siram, lalu ia tenggelamkan dengan api yang besar.
Sangat besar bahkan wajahnya memerah, memanas, sedangkan matanya mulai berair.

Mawar itu hangus, hitam dan rapuh.
Ia tidak ingin lagi melihat mawar itu tumbuh, ia tidak pernah ingin.

Mawar-mawar tersebut telah menjadi abu.
Sayangnya, ia masih mengalami kegilaan tersebut.
Ia tahu lambat laun ia akan pulih tapi sekarang bukan saatnya.

Ia berterima kasih kepada anda karena akhirnya ia bisa membakar mawar semunya itu.
Dan ia hanya ingin mengobrol dengan anda satu kali lagi, tidak dengan sofa, ia hanya ingin waktu sebentar, berdiri di depan pintu pun tidak apa, tapi yasudah, ia hanya ingin menyampaikan ini.

Goodbye, then.

"The most obvious and well known meaning of the red rose is deep love and affection."

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff