Lalu, saya harus apa?
Pecahan ini semakin menjadi kerikil
"Semua tidak harus diperbaiki", katamu.
Ya, memang tidak ada lagi yang bisa.
×××
Menengadahkan tangan seperti ditodong pistol
Doa akan selalu berguguran
Tidak restu atau tidak mempan?
Seperti butir yang rata
Bahkan doa saja tidak pernah menyentuh setitik kecil itu
Dari bertemu, lalu jatuh bekas ranting yang meranggas
Butiran doa itu bahkan menjadi dandelion
Anak dandelion tidak semua selamat, bukan?
Hanya satu dua yang tamat
Lainnya?
Dibawa angin, terhuyung-huyung tidak sampai tempat.
Kamu kah yang mengikat saya?
Seperti dililit ranjau
Usaha lepas, saya mengigau
Berdiam diri, saya meracau
Selalu salah
Berani saya hanya setangkai kaki bangau
Kaki cacat bahan sintetis
Bahkan bangau enggan bersyukur
Sebenarnya arti Kita dalam kamus itu apa?
Saya mencari, berlembar halaman, berpuluh buku, bahkan beratus orang pintar
Saya tidak menyerah
Lalu saya tanya kamu,
Jawaban sederhana itu mencuat
Buat saya menatap pucat
Kamu hanya mencuap
"Tidak pernah ada kata itu di sini"
Ibarat seperti tidak menganggap lembah hangat di antara dua puncak
Layaknya tidak mengakui korupsi itu penyakit
Seperti vodka dua botol yang tidak memabukkan
Bahkan seperti menganggap ibu kota itu lengang
Semua teorimu, semu.
Kamu membuat teori itu sendiri
Hipotesa saya malah jadi tanya
Iya, kah?
Benarkah kamu tidak pernah serius?
Bahkan penyakit jadi bahan tawamu?
Kebutuhan hanya menghakikatkanmu?
Ini lagi kesalahanku
Bulan Mei selalu menjadi-jadi
Mengiris setiap hati
Entah hati itu apa?
Jika lunak, ia seonggok daging penyakitan yang kambuh
Jika keras, berarti ia besi, bukan baja tahan banting
Lalu saya itu apa?
Saya menunggu di meja nomor 9
Kopi hitam panas yang saya coba
Beserta ampasnya
Meneguk tiga kali saya menerima
Keempat kali kerongkongan melepuh
Panas, pahit, kasar, ampas buat saya tersedak
Minuman kesukaanmu malah membuat saya hampir mati
Bertanya, "apa nikmatnya minum kopi?"
Selaras dengan pertanyaan orang patah hati,
"Apa nikmatnya mencintai?"