Monday 20 April 2015

Malam ini saya hanya ingin bersenda gurau, ya mungkin agak menyimpang sedikit.
Guyonan tentang patah hati selalu ada. Literatur tentang patah hati sudah menjamur. Bahkan, patah hati bisa menjadikan seseorang menemui profesinya.

Mengulas patah hati tidak akan pernah habis. Selalu datang, akan selalu terasa, dan pasti akan selalu nyata. Mengapa patah hati menjadi rasa yang paling tenar dalam hidup? Seakan-akan, jika tidak pernah patah hati, akan ditewaskan dengan kata-kata "Tidak punya perasaan", dan semacamnya. Mengapa pula patah hati menjadi hal yang tabu untuk dijalani setiap rutinitas? Jika orang-orang mulai melihat anda berpatah hati setiap hari, maka anda akan mendapat perkataan "orang lemah!", di balik anda.

Dan, mengapa anda menyebut rasa yang sakit, sesak dan tidak enak itu adalah "Patah Hati"? Ya, karena rasa sakit itu terlalu nyata di pusat dada. Padahal, anda tahu, hati berada dimana, sedangkan yang ada di dada sebut saja paru-paru. Mengapa kita tidak menyebutkannya dengan "Patah paru-paru?".  Lagi-lagi, sebutan itu adalah hal konyol.

"Patah Hati" pula adalah hal konyol bagi saya. Saya menggunakan rasa "Patah Hati" untuk menulis di sini, untuk saya tuangkan pada kertas yang saya gambar, dan untuk saya nikmati. Sekedar "Patah Hati" adalah hal yang mudah dan masih dapat dinikmati. Menikmati dengan satu kopi susu, bukan kopi hitam yang terlalu pahit, karena kafein akan dibutuhkan untuk menopang rasa kantuk ketika mata ingin menagis sejadi-jadinya. Bisa pula menikmati dengan lagu, maka, pasanglah headset yang anda punya, karena suara dari musik itu akan terdengar lebih dekat dan seakan mengalir di darah, membawa setiap lirik ke dada yang sesak sambil berpura-pura menjadi perban "Patah Hati". Nikmatilah "Patah Hati" dengan cara anda masing-masing, maka hal buruk itu akan terasa baik.

Tapi, tahukah anda yang lebih buruk dari "Patah Hati"? Mungkin anda belum pernah merasakannya. Hal yang lebih buruk dari "Patah Hati" ialah Hati yang  Pecah. Bagaimana bisa keadaan itu lebih buruk dari "Patah Hati?". Keadaan itu sangat buruk. Hati yang pecah adalah hati yang ringkih lalu dilempar dan menjadi berkeping-berkeping, berbeda dengan "Patah Hati", yang hanya patah, menjadi 2 bagian.

Hati yang pecah sangat membingungkan. Kepingannya sangat menjengkelkan. Keping itu pula yang menawarkan beberapa jalan dan dengan kejamnya, memaksa kita untuk memilih satu atau dua dari kepingan tersebut. Hati yang pecah tidak pernah baik, dan tidak pernah rapi. Selalu ada kegaduhan dan ruangannya akan selalu berantakkan.

Mengapa lebih buruk? Hati yang pecah sanggup membungkam mulut empunya. Ia juga sanggup menutup pikiran pemiliknya. Membuat pemiliknya bingung sehingga memilih untuk diam. Tidak seperti "Patah Hati" yang bisa diceritakan dengan mudah. Hati yang pecah hanya untuk diri sendiri, keadaan dimana kita akan tahu cerita serumit ini tidak akan dimengerti orang lain, sampai orang itu merasakannya sendiri. Hati yang pecah akan selalu dipendam, dipungut kepingnya walau keping itu akan terbagi lagi.

Mengapa lebih buruk? Hati yang pecah seperti memojokkan pemiliknya. Pemiliknya tidak akan berselera apa-apa. Mendengarkan musik kesukaannya pun, terlihat bosan dan tabu. Minum pun akan dirasa pahit walaupun kopi susu diganti dengan teh manis. Hati yang pecah membuat pemiliknya tidak bisa apa-apa. Hanya berpura-pura menjalani hari dengan baik dan seperti tidak ada apa-apa. Bahkan, pemiliknya tidak dibolehkan menangis, air mata tidak pernah keluar lagi untuk menumpah ruahkan perasaan.

Penderita Hati yang Pecah, disiksa di dalam satu ruang di tubuhnya, satu organ yang tidak pernah nyata dan hanya bisa dirasa, ruang itu di dalam dada, entah apa nama ruang itu.
Tetapi, yang pasti, Hati yang Pecah, adalah hal yang tidak menarik untuk dijalani.

Dan, saya belum tahu apa obat yang paling hebat untu Hati yang pecah, namun, untuk "Patah Hati", sekedar quotes hanya seperti perban sesaat, yang menjadi obat merah adalah bagaiman kita menanggapi rasa ini sendiri.

Jadi, pernahkah anda menjalani keadaan Hati yang Pecah? Hahaha

Monday 13 April 2015

Satu senyum berbeda
Selalu ada dimanapun berada
Senyum itu sangat menggoda
Entah kenapa, saya candunya tanda
Ternyata senyum itu milik anda

Senyum yang saya suka
Garis lengkung yang spesial untuk saya, tapi biasa untuk mereka
Melihat senyum itu, saya bisa tersenyum kadang hanya tertawa belaka

Senyum itu pula saya benci
.
.

Saya benci bagaimana saya bisa terhipnotis oleh senyum itu. Senyum yang hanya dimiliki oleh anda.

Entah, siapa, sih anda itu? Pejabat? Bukan. Astronot? Bukan. Artis? Bukan juga.

Siapa, sih anda itu? Sebegitu pentingkah untuk saya? Sepenting apakah anda di mata saya, sampai senyum anda pun bisa buat saya lupa diri.

Biasanya, saya senang melihat senyum mengembang di wajah orang-orang, tetapi, saya mulai benci melihat senyum di wajah anda.

Di wajah yang selama ini saya simpan di dalam bayang semu, bahkan di dalam hati pula walau hati tidak pernah bisa membayangkan.

Senyum itu pula yang selalu membuat saya berpikir "tidak apa".
Karena, setiap saya bertanya, anda biasa tidak menjawab, hanya tersenyum. Dan senyum itu membuat saya gila lalu membelotkan suasana berpikir, "ah tak apa jika tidak dijawab", padahal saya butuh jawaban.

Senyum itu seakan meredakan segalanya. Walaupun saya dan anda tidak sedang berinteraksi, senyum itu bisa lewat kapan saja di otak saya. Saya benci bagaimana gambaran itu sering terlintas. Takut menumbuhkan kangen.
Kangen yang harus disingkirkan secara paksa, karena saya rasa kangen itu konyol.
Sudah tiap hari bertemu, rasa kangen masih ada? Konyol.

Pokoknya, itu satu senyum yang berbeda. Senyum yang saya suka, tapi saya benci juga. 

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff