Saturday 5 December 2015

Gue merasa ada yang hilang.
Tapi, bukan hilang begitu saja tanpa disadari, hilangnya disadari dan dimaklumi. Sudah rela dan dibiarkan.

Bukan tentang satu orang, tapi satu kelompok.
Kelompok yang tidak pernah sama sehabis rapat hari selasa.
Ternyata, teori piring yang dipecahkan, walaupun dilem tidak akan sama itu memang benar.

Gue merasa ada yang hilang.
Sesuatu yang akhir-akhir ini belum gue dapatkan dan belum kembali ke jalan yang seharusnya.
Sesuatu yang selalu membuat gue kangen dan makes me feel bad about it.

Gue kangen sesuatu yang hilang itu.
Di dalamnya ada senyum, tawa, obrolan dan kepentingan yang sama.
Semuanya pudar seperti diberi efek blur. Masih terlihat tapi samar
Masih dilakukan tapi minim
Masih tertawa, tapi kurang menyenangkan.

Kelompok yang diusahakan selalu tetap ada, nyatanya habis dimakan waktu.
Dengan semua yang sadar, lama-kelamaan, kehilangan itu seperti memang sudah seharusnya.

Semua orang tidak lupa, hanya saja, bingung.
Bingung bagaimana melanjutkan kelompok dengan kepentingan yang semakin berbeda jalan.
Bingung bagaimana mencari topik yang menyangkut semua anggota.
Bingung,
Bagaimana membuat obrolan sampai 999+ persis seperti dulu.

Lalu, semua orang bosan.
Bosan menghadapi orang yang sama dengan sikap yang makin ke sini makin terlihat.
Bosan mengadakan percakapan tentang masalah kecil yang dibesar-besarkan.
Bosan mengingat kebiasaan-kebiasaan kecil yang ada pada setiapnya.
Bosan,
Dengan kata 'bebas' jika ditanya ingin kemana.

Jujur, gue kangen.
Mungkin ga ada yang baca ini walaupun satu dari kalian.
Tapi rasa memudarnya kebersamaan itu nyata.
Banget.
Atau mungkin, gue aja yang hanya perasa?

3 bulan terakhir yang keluar hanya kalimat,
"Udah lama gak main.."
Hanya keluar dalam bisikkan, kalaupun dalam nada nyata, hanya pada satu atau dua orang saja.

Mungkin kelompok ini memang harus begini.
Kita memaksakan untuk selalu sama-sama, tidak bisa lagi.
Berusaha mengabsen anggota saat foto formal, terpaksa, agar rasanya kita terlihat masih ada, agar kelompok ini masih nyata.

Tab obrolan dari kelompok ini sudah tidak ada lagi di jendela chat.
Tertimbun menjadi di paling bawah.
Kalaupun ada sepatah kata, hanya dibaca dan dijawab sekenanya.

Pada akhirnya,
Semua yang dirajut hanya ada di toples-toples memori.

Semua jalan yang dilalui, ban kempis, stir mobil, Kampung Nirwana, Film yang ditonton, makanan yang dipesan, jokes lalu lalang, foto konyol, dan janji undangan pernikahan.

Gue kangen kalian,
Kelompok P.
Kelompok yang dulu,
Yang benar-benar berkawan,
Yang mempunyai kepentingan yang sama.

Hehe.
Love u, guys.

Sunday 26 July 2015

Anda butuh Ratumu, Paduka.

Ratu yang selalu bisa mengejutkanmu dengan senyum manis di pangkal pagi yang sunyi.

Ratu yang bisa memanjakan lidahmu dengan racikkan masakkannya.

Ratu yang mempunyai telapak tangan paling lembut saat engkau hendak dihantarkannya pergi.

Ratu yang memiliki mata untuk engkau berteduh sepulang perjalanan.

Anda butuh Ratumu, Paduka.

Ratu yang setiap engkau pulang, ia berpakaian rapi menunggu di kursi teras
Bahkan saat engkau pulang malam, Ratu itu akan selalu menunggumu walau sudah tertidur.

Ratu yang hanya engkau saja mengerti gerak-geriknya
Walaupun ia diam dan matanya tidak ingin menatapmu karena sedang dilahap emosi.

Ratu yang dapat membuat rumahmu menjadi tempat paling menyenangkan
Karena di rumah itu anda bisa bersantai, menyeruput kopi pagi ditambah gula manis dari yang tercinta.

Yang tercinta ialah Ratumu.
Yang nanti akan menopang mahkotamu setiap hari.

Yang sudah digariskan waktu, walaupun garismu tidak menyentuh titik saya sekalipun.

Karena,
Saya senang berfilosofi dengan rumah.
Hati itu hanya berbeda satu dua jari dengan rumah.

Rumah adalah tempat berlindung yang suasana isinya tergantung dengan penghuni-penghuninya.

Sama seperti hati, benda semu itu juga tempat berlindung bagi roh manusia dan suasananya tergantung pula pada isinya.
Iya, kan?
Bayangkan bagaimana roh-roh bunuh diri masih menghantui dunia nyata dan tersesat?
Karena roh itu lepas dari keteduhan hati ditambah pikirannya.

Hati itu berpondasi agama, beratap ilmu dan berdinding ego.
Jika dinding retak, maka ego itu akan merusak.
Jika atap berlubang, ilmu itu tidak dapat menangkal hujan 'kebodohan'.
Maka jika pondasi rusak, seperti hal yang klise, rumah itu hancur.

Membujuk seorang nenek pindah dari rumah tuanya sama dengan wanita yang dibujuk menghapus wajah prianya dari hati dan pikiran;

Sama-sama sulit,
Karena rumah dan hati adalah satu ruangan yang kenangan bisa berdiam di dalamnya, di bingkai, di celah dinding atau pun di lantai yang sudah mengembung.

Hati seorang yang sudah rusak tidak akan memberi nyaman pada pemiliknya, sama seperti saat satu rumah didatangi perampok.

Betapa ringannya menyamakan rumah dengan hati, karena mereka memang mirip.

Saat rumah itu didirikan pintu utama yang besar, hati pun punya pintu itu pula.
Pintu yang menjadi pembatas agar tamu tidak menyusup masuk tanpa sepengetahuan empunya.
Tetapi, saat rumah itu mempunyai pintu belakang yang tidak terlalu dijaga, maka masuklah seorang itu, sama seperti hati yang disusupi seseorang yang bahkan kita saja tidak tahu bahwa ia akan bertandang.

Rumah yang ditinggali orang baik dan menyenangkan akan membawa suasana hangat seperti lilin-lilin kecil yang meramaikan malam
Sama seperti hati,
Hati yang ditempati orang yang tepat bisa menimbulkan suasana yang mengenakkan, jika sebaliknya, maka rumah itu bisa terbakar oleh api lilinnya sendiri.

Anda akan sedih atau marah bila tamu yang anda biarkan menetap malah merusak rumah anda.
Memudarkan cat tembok anda dan memecahkan ubinnya.
Saat hati memberi kepercayaan untuk seorang tinggal dan ia mematahkan semua percaya itu, anda tahu apa yang anda rasakan.

Perpindahannya pun sama.
Saat anda bosan dengan rumah yang lama, atau rumah itu sudah tidak terasa baru dan layak ditinggal, anda akan mencari, berkeliling pada setiap rumah dan akhirnya akan menemukan rumah yang cocok dengan anda.

Hati yang sudah rusak dan tidak nyaman ditinggali pun begitu, anda akan berangkat, bersusah payah membawa barang kenangan lalu mencari pada setiap sudut, apakah anda akan menemukan hati baru?

Itu mengapa saya selalu meminta anda untuk tidak mengunci saya di rumah ini,
Saat aromanya telah memburuk, terbakar api di dalamnya,
Saat temboknya hanya menimbulkan siluet anda,
Juga alasnya bekas jejak yang anda tancapkan,
Saya ingin keluar dari rumah ini,
Rumah kita berdua yang saya kira masih kokoh,
Saya ingin mencari hati baru.

Friday 24 July 2015

Saya menulis setiap kata sedih dan merindu di sini bukan untuk meminta kasihan dari objeknya.

Tulisan ini bukan hanya untuk anda, tulisan ini saya buat untuk semua yang membaca dan bagi orang-orang yang mungkin punya rasa yang sama seperti apa yang saya tulis.

Anda tidak bisa marah pada saya karena tulisan-tulisan ini.
Sama saja seperti anda marah kepada seseorang yang selalu duduk karena dia lumpuh.
Kemana saya harus bebas bercerita selain pada tulisan saya sendiri?
Tidak mungkin saya bercerita pada anda tentang meringis merindukan anda, berbahagia saat anda menyapa saya bahkan cemburu saat anda menatapnya.

Karena saya belum butuh respon, saya cuma butuh pikiran saya diluberkan.
Sama seperti orang depresi yang membanting-banting barang, saya butuh mengeluarkan emosi agar saya tidak sakit atau gila.

Tulisan ini bukan hanya untuk anda, lalu mengapa anda mengeluarkan surat protes kemudian berlari meninggalkan saya?
Pintu itu sudah anda tutup lagi, saya terkunci di rumah saya sendiri.

Maka leluasakanlah saya dengan pena dan kertas, saya bisa merangkai kalimat tentang anda sampai setiap huruf berubah bentuk menjadi wajahmu.

Maka lemparkanlah saya dengan pena dan kertas, saya bisa membayangkan wajahmu lalu menggambarnya, sampai setiap garis terukir kata yang ingin saya sampaikan.

Untuk apa anda melempari roti kepada saya?
Karena katanya, "Jika seorang yang patah hati dilempar ke dalam segudang roti, ia akan mati kelaparan."

Saya hanya butuh kunci pintu jati saya yang ada di tangan anda agar saya bisa berpindah dari rumah yang sudah bobrok ini.

Setiap terbit dan terbenamnya matahari, saya selalu dibisikkan setan dan malaikat tentang betapa meruginya saya atau bersyukurnya saya terhadap apa yang saya lalui dengan anda.

Maka, saya mohon jangan anda melarang saya menulis.
Bukankah mempunyai hubungan dengan penulis itu menyenangkan dan didambakan, huh?

"Jatuh cintalah kepada penulis,
Maka kisahmu akan hidup selamanya"

Lalu, bolehkah saya menulis lagi tentang semua di sini?

Tuesday 14 July 2015

Mungkin saya hanya uap teh yang menempel di gelas anda.

Uap yang berusaha menghangatkan teh untuk anda minum, tetapi anda tidak pernah melihat, bahkan berterimakasih.

Apa yang saya lakukan?
Berangan-angan bahwa kebetulan itu akan selalu nyata?
Seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri, saya hanya diam di tempat, tetapi saya lelah.

Ia pula mungkin terlihat seperti gelas polkadot kesayangan anda yang anda sendiri tidak ingin mengakui bahwa benda itu hal paling favorit.

Pada kesalahan paling buruk, mungkin saya baru menyadari sekarang.
Atau ini memang permainan pikiran tentang waspada?
Entah kenapa, saya yakin ia pula lebih favorit daripada saya.

Bahkan saat anda disuguhkan dua nama, dua wajah, dan dua peran yang berbeda, anda berpikir keras.
Anda menimbang-nimbang.
Dan anda menyebutkan namanya, ia yang ibaratnya gelas kesayangan anda.

Waktu itu, saya pulang dengan isi pusat dada yang hilang, seakan runtuh, bahkan saya masih bisa merasakannya.
Saya terus menyalahkan bayangan anda dalam perjalanan pulang.

Mengapa anda tidak menyebut nama saya yang selalu ada untuk anda?
Mengapa harus dia?

Uap teh memang selalu berdampingan dengan gelasnya, tetapi apa yang membuat satu uap menarik?

Dan ternyata, walaupun bukan tertuju bulat-bulat kepadanya, saya hanya ingin, saya terlihat.
Bukan terlihat karena saya selalu ada di sampingnya.

Saya akan terlihat gila untuk mengakuinya, malah akan terlihat tidak berotak dan berakal, tetapi, Ia memang api saya dari awal.
Bahkan tidak hanya untuk anda,
Ia api saya untuk segala yang hadir di setiap lini waktu milik saya.
Tapi, bagaimana lagi?
Saya pasti kalah.

Sunday 28 June 2015

Selamat siang
Jika Anda setidaknya melihat atau malah membaca, apa kabar?

Biar saya memberitahukan anda bagaimana ia selama ini merawat tamannya sendiri.

Tamannya memang sudah rusak dengan semak belukar yang menjerat, daun yang gugur, pohon yang agak meranggas, tapi dari sana, ia masih selalu mengunjungi tamannya. Jika sempat dan mau, ia membersihkannya, duduk di bangku panjang menghadap latar yang cukup sepadan dengan indah.

Demi tamannya, ia bisa meninggalkan tempat nyamannya. Rumah megah miliknya yang hanya dihuni satu manusia walaupun terkadang ia mengadakan pesta borjuis di sana, sekedar menghibur saja, padahal, ia akan selalu merasa sepi setiap tamunya pulang.

Satu yang ia pantau dari tamannya.
Ia selalu menggunting mawar yang akan tumbuh.
Ia masih takut untuk melihat mawar.
Bunga yang indah namun menikam dengan durinya.

Sampai kepada satu hari,
Ada ketukkan pada pintu jati miliknya.
Seseorang yang tak pernah asing dan tidak pernah ia biarkan memasukki rumahnya.
Orang itu terasa selalu menunggu dibukakan pintu sementara ia menunggu di baliknya, berdoa agar segera pergi.

Lambat laun, doa itu rasanya kurang diberkahi, malah mendobrak kayu itu.
Ia ketakutan, bingung, hingga tidak ingin bertemu orang tersebut.

Seseorang itu duduk di sofanya, malah sekarang ia berhadapan dengannya.
Ia diam, lalu percakapan dimulai dari pihak seberang.
Takut itu mulai menjadi rasa senang.
Ringisan itu mulai menjadi tawa.
Kebingungan bahkan mekar menjadi nyaman.
Entah apa yang ia rasakan, yang ia tahu pikirannya sudah hilang.

Obrolan sofa tersebut menjadi hangat dengan dua gelas teh panas.
Ia mulai menyilangkan kaki tanda ia menikmati.

Namun ia lupa dengan mawarnya.
Ia lupa menggunting mawar yang tumbuh.
Seakan ia teringat, berlarilah cepat ke tamannya.
Aneh, mawarnya sudah tumbuh dan menjadi liar lebih dari yang diekspektasikan.
Ia mengambil gunting dan membawa orang tersebut melihat mawar yang bermekaran itu.

Ironinya, bahkan orang tersebut menyembunyikan gunting yang akan dipakai untuk memotong.
Orang itu memberikan harapan kepadanya agar ia membiarkan mawar-mawar itu bermekaran.
Ia hanya terhipnotis sampai ia memang membiarkannya.

Pada hari terakhir di minggu kedua, ia kembali duduk di bangku taman tersebut, tentu bersama orang itu. Ia memandangi mawar-mawar indah, seakan-akan ia lupa rasanya melihat merah yang begitu pekat tapi memikat.
Ia beranjak.
Mengambil setangkai mawar walaupun ia tahu durinya bisa membuat ia berdarah.

Tangannya menjulurkan mawar kepada seorang itu, tetapi apa yang ia dapatkan?
Jarinya yang mengeluarkan darah bergetar, mawar yang ia ambil dilempar begitu saja.
Lalu ia diseret lagi kepada mawar-mawar itu.
Orang itu memuji indahnya mawar yang ia miliki, setidaknya pujian dapat mengobati jarinya yang gemetar.

Tapi ternyata tidak.
Ceritanya belum pernah berakhir bahagia.
Orang itu mendorong jatuh ia ke dalam kumpulan tangkai berduri tersebut.
Ia terjerembab.
Segalanya dipenuhi luka.
Ia termakan lupanya sendiri atas mawar itu.

Seorang itu telah menutup pintu utamanya lagi saat ia mulai bangun.
Pagi itu ia merasakan bangun dengan keadaan yang tidak pernah mengenakkan.
Bangun dalam keadaan ditinggal dan luka yang bertebaran.
Ia bahkan tidak bisa menyalahkan seseorang itu karena ialah yang lupa menggunting.

Ia bangkit seolah-olah ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Air matanya tidak lagi basah.
Hanya sesak yang dirasakan.
Sesak itu membuat ia gila.

Kegilaan itu memberinya semangat untuk mengambil bensin sebanyaknya dan ia hilang kendali dengan memadukannya dengan korek api.

Mawar itu ia siram, lalu ia tenggelamkan dengan api yang besar.
Sangat besar bahkan wajahnya memerah, memanas, sedangkan matanya mulai berair.

Mawar itu hangus, hitam dan rapuh.
Ia tidak ingin lagi melihat mawar itu tumbuh, ia tidak pernah ingin.

Mawar-mawar tersebut telah menjadi abu.
Sayangnya, ia masih mengalami kegilaan tersebut.
Ia tahu lambat laun ia akan pulih tapi sekarang bukan saatnya.

Ia berterima kasih kepada anda karena akhirnya ia bisa membakar mawar semunya itu.
Dan ia hanya ingin mengobrol dengan anda satu kali lagi, tidak dengan sofa, ia hanya ingin waktu sebentar, berdiri di depan pintu pun tidak apa, tapi yasudah, ia hanya ingin menyampaikan ini.

Goodbye, then.

"The most obvious and well known meaning of the red rose is deep love and affection."

Thursday 28 May 2015

Lalu, saya harus apa?
Pecahan ini semakin menjadi kerikil

"Semua tidak harus diperbaiki", katamu.
Ya, memang tidak ada lagi yang bisa.

×××

Menengadahkan tangan seperti ditodong pistol
Doa akan selalu berguguran
Tidak restu atau tidak mempan?

Seperti butir yang rata
Bahkan doa saja tidak pernah menyentuh setitik kecil itu
Dari bertemu, lalu jatuh bekas ranting yang meranggas

Butiran doa itu bahkan menjadi dandelion
Anak dandelion tidak semua selamat, bukan?
Hanya satu dua yang tamat
Lainnya?
Dibawa angin, terhuyung-huyung tidak sampai tempat.

Kamu kah yang mengikat saya?
Seperti dililit ranjau
Usaha lepas, saya mengigau
Berdiam diri, saya meracau
Selalu salah

Berani saya hanya setangkai kaki bangau
Kaki cacat bahan sintetis
Bahkan bangau enggan bersyukur

Sebenarnya arti Kita dalam kamus itu apa?
Saya mencari, berlembar halaman, berpuluh buku, bahkan beratus orang pintar
Saya tidak menyerah

Lalu saya tanya kamu,
Jawaban sederhana itu mencuat
Buat saya menatap pucat
Kamu hanya mencuap

"Tidak pernah ada kata itu di sini"

Ibarat seperti tidak menganggap lembah hangat di antara dua puncak
Layaknya tidak mengakui korupsi itu penyakit
Seperti vodka dua botol yang tidak memabukkan
Bahkan seperti menganggap ibu kota itu lengang
Semua teorimu, semu. 

Kamu membuat teori itu sendiri
Hipotesa saya malah jadi tanya
Iya, kah?
Benarkah kamu tidak pernah serius?
Bahkan penyakit jadi bahan tawamu?
Kebutuhan hanya menghakikatkanmu?

Ini lagi kesalahanku
Bulan Mei selalu menjadi-jadi
Mengiris setiap hati
Entah hati itu apa?
Jika lunak, ia seonggok daging penyakitan yang kambuh
Jika keras, berarti ia besi, bukan baja tahan banting

Lalu saya itu apa?
Saya menunggu di meja nomor 9
Kopi hitam panas yang saya coba
Beserta ampasnya

Meneguk tiga kali saya menerima
Keempat kali kerongkongan melepuh
Panas, pahit, kasar, ampas buat saya tersedak

Minuman kesukaanmu malah membuat saya hampir mati
Bertanya, "apa nikmatnya minum kopi?"

Selaras dengan pertanyaan orang patah hati,
"Apa nikmatnya mencintai?"

Friday 1 May 2015

Deru mesin meramaikan malam
Klakson nyata memecah hening
Sorot lampu mulai menyilaukan mata

Saya tidak tidur, masih segar melihat hutan jawa yang gelap itu
Mengawang, apa saja yang ada di dalamnya?
Sekelebat pikiran itu datang
Untung bukan wanita berkain putih dalam gelap
Hanya wanita yang saya kira sedang dekat dengan anda

Saya menengok kursi belakang
Anda belum pula tertidur
Bahkan di dalam kendaraan balok ini, hanya kita, penumpang yang masih berpikir
Saya bertanya, apa yang anda pikirkan?
Apakah sama dengan saya?
Tentang wanita itu?

Dengan cepat, saya mengalihkan pandangan lagi
Saya kira, saya sudah sembuh
Sembuh dari cabikan rindu terhadap anda

Di pusat malam ini, ternyata saya baru sadar
Anda tidak akan pernah keluar dari pintu otak saya
Meskipun saya sudah merobohkan pintu itu berkali-kali
Anda sudah membangun rumah megah di hati saya
Ironinya, rumah megah itu kosong
Tidak berpenghuni

Dalam perjalanan terakhir ini,
Sebelumnya saya berjanji
Jika saya masih memelihara rasa terhadap anda,
Saya akan mengucap kencang di puncak Bromo
Saya kira, saya sudah melepaskan rasa itu,
Tapi, saat melihat anda, rasa itu kembali
Hukumlah saya karena bualan ego itu
Hanya seorang yang tidak menepati janji
Pengecut yang tenggelam dalam sedih sendiri
Pembunuh rasa yang sadis, karena tidak membiarkan kata-kata mewakilinya

Lucunya, ketika rasa itu masuk kandang, diantarkan senyum manis,
Anda malah bercengkrama dengannya
Berdua
Berdiskusi tentang warna
Basa-basi keadaan
Bahkan anda siap menjadi sosok berani di depannya padahal saya tahu anda sangat cemas

Saya menengok jendela sopir
Ia tidak bergeming apapun tentang lampu sorot jauh yang silau mengalahkan terangnya bulan
Ia sudah terbiasa

Apa yang akan saya perbuat saat melihat  keadaan anda dengannya?
Tidak ada

Saya sudah seperti sopir di depan
Keadaan yang menyilaukan itu sudah jadi biasa
Saya cuma bisa menarik persneling dan tancap gas
Sambil berdoa,

Perjalanan terakhir ini akan baik-baik saja.

Monday 20 April 2015

Malam ini saya hanya ingin bersenda gurau, ya mungkin agak menyimpang sedikit.
Guyonan tentang patah hati selalu ada. Literatur tentang patah hati sudah menjamur. Bahkan, patah hati bisa menjadikan seseorang menemui profesinya.

Mengulas patah hati tidak akan pernah habis. Selalu datang, akan selalu terasa, dan pasti akan selalu nyata. Mengapa patah hati menjadi rasa yang paling tenar dalam hidup? Seakan-akan, jika tidak pernah patah hati, akan ditewaskan dengan kata-kata "Tidak punya perasaan", dan semacamnya. Mengapa pula patah hati menjadi hal yang tabu untuk dijalani setiap rutinitas? Jika orang-orang mulai melihat anda berpatah hati setiap hari, maka anda akan mendapat perkataan "orang lemah!", di balik anda.

Dan, mengapa anda menyebut rasa yang sakit, sesak dan tidak enak itu adalah "Patah Hati"? Ya, karena rasa sakit itu terlalu nyata di pusat dada. Padahal, anda tahu, hati berada dimana, sedangkan yang ada di dada sebut saja paru-paru. Mengapa kita tidak menyebutkannya dengan "Patah paru-paru?".  Lagi-lagi, sebutan itu adalah hal konyol.

"Patah Hati" pula adalah hal konyol bagi saya. Saya menggunakan rasa "Patah Hati" untuk menulis di sini, untuk saya tuangkan pada kertas yang saya gambar, dan untuk saya nikmati. Sekedar "Patah Hati" adalah hal yang mudah dan masih dapat dinikmati. Menikmati dengan satu kopi susu, bukan kopi hitam yang terlalu pahit, karena kafein akan dibutuhkan untuk menopang rasa kantuk ketika mata ingin menagis sejadi-jadinya. Bisa pula menikmati dengan lagu, maka, pasanglah headset yang anda punya, karena suara dari musik itu akan terdengar lebih dekat dan seakan mengalir di darah, membawa setiap lirik ke dada yang sesak sambil berpura-pura menjadi perban "Patah Hati". Nikmatilah "Patah Hati" dengan cara anda masing-masing, maka hal buruk itu akan terasa baik.

Tapi, tahukah anda yang lebih buruk dari "Patah Hati"? Mungkin anda belum pernah merasakannya. Hal yang lebih buruk dari "Patah Hati" ialah Hati yang  Pecah. Bagaimana bisa keadaan itu lebih buruk dari "Patah Hati?". Keadaan itu sangat buruk. Hati yang pecah adalah hati yang ringkih lalu dilempar dan menjadi berkeping-berkeping, berbeda dengan "Patah Hati", yang hanya patah, menjadi 2 bagian.

Hati yang pecah sangat membingungkan. Kepingannya sangat menjengkelkan. Keping itu pula yang menawarkan beberapa jalan dan dengan kejamnya, memaksa kita untuk memilih satu atau dua dari kepingan tersebut. Hati yang pecah tidak pernah baik, dan tidak pernah rapi. Selalu ada kegaduhan dan ruangannya akan selalu berantakkan.

Mengapa lebih buruk? Hati yang pecah sanggup membungkam mulut empunya. Ia juga sanggup menutup pikiran pemiliknya. Membuat pemiliknya bingung sehingga memilih untuk diam. Tidak seperti "Patah Hati" yang bisa diceritakan dengan mudah. Hati yang pecah hanya untuk diri sendiri, keadaan dimana kita akan tahu cerita serumit ini tidak akan dimengerti orang lain, sampai orang itu merasakannya sendiri. Hati yang pecah akan selalu dipendam, dipungut kepingnya walau keping itu akan terbagi lagi.

Mengapa lebih buruk? Hati yang pecah seperti memojokkan pemiliknya. Pemiliknya tidak akan berselera apa-apa. Mendengarkan musik kesukaannya pun, terlihat bosan dan tabu. Minum pun akan dirasa pahit walaupun kopi susu diganti dengan teh manis. Hati yang pecah membuat pemiliknya tidak bisa apa-apa. Hanya berpura-pura menjalani hari dengan baik dan seperti tidak ada apa-apa. Bahkan, pemiliknya tidak dibolehkan menangis, air mata tidak pernah keluar lagi untuk menumpah ruahkan perasaan.

Penderita Hati yang Pecah, disiksa di dalam satu ruang di tubuhnya, satu organ yang tidak pernah nyata dan hanya bisa dirasa, ruang itu di dalam dada, entah apa nama ruang itu.
Tetapi, yang pasti, Hati yang Pecah, adalah hal yang tidak menarik untuk dijalani.

Dan, saya belum tahu apa obat yang paling hebat untu Hati yang pecah, namun, untuk "Patah Hati", sekedar quotes hanya seperti perban sesaat, yang menjadi obat merah adalah bagaiman kita menanggapi rasa ini sendiri.

Jadi, pernahkah anda menjalani keadaan Hati yang Pecah? Hahaha

Monday 13 April 2015

Satu senyum berbeda
Selalu ada dimanapun berada
Senyum itu sangat menggoda
Entah kenapa, saya candunya tanda
Ternyata senyum itu milik anda

Senyum yang saya suka
Garis lengkung yang spesial untuk saya, tapi biasa untuk mereka
Melihat senyum itu, saya bisa tersenyum kadang hanya tertawa belaka

Senyum itu pula saya benci
.
.

Saya benci bagaimana saya bisa terhipnotis oleh senyum itu. Senyum yang hanya dimiliki oleh anda.

Entah, siapa, sih anda itu? Pejabat? Bukan. Astronot? Bukan. Artis? Bukan juga.

Siapa, sih anda itu? Sebegitu pentingkah untuk saya? Sepenting apakah anda di mata saya, sampai senyum anda pun bisa buat saya lupa diri.

Biasanya, saya senang melihat senyum mengembang di wajah orang-orang, tetapi, saya mulai benci melihat senyum di wajah anda.

Di wajah yang selama ini saya simpan di dalam bayang semu, bahkan di dalam hati pula walau hati tidak pernah bisa membayangkan.

Senyum itu pula yang selalu membuat saya berpikir "tidak apa".
Karena, setiap saya bertanya, anda biasa tidak menjawab, hanya tersenyum. Dan senyum itu membuat saya gila lalu membelotkan suasana berpikir, "ah tak apa jika tidak dijawab", padahal saya butuh jawaban.

Senyum itu seakan meredakan segalanya. Walaupun saya dan anda tidak sedang berinteraksi, senyum itu bisa lewat kapan saja di otak saya. Saya benci bagaimana gambaran itu sering terlintas. Takut menumbuhkan kangen.
Kangen yang harus disingkirkan secara paksa, karena saya rasa kangen itu konyol.
Sudah tiap hari bertemu, rasa kangen masih ada? Konyol.

Pokoknya, itu satu senyum yang berbeda. Senyum yang saya suka, tapi saya benci juga. 

Thursday 26 March 2015

"Bro, jual aja tuh Corolla lo. Jual sama gue sini, tapi harga nego ye," sahut Dery.
"Kaga ah, mending gue simpen 3 tahun lagi paling jadi barang antik harga tinggi," gue terkikik.
"Ah, ga seru. Lagian itu hanya kaleng beroda, tau ga. Hahahaha"
"Enak, aja, mobil antik gini banyak kenanangannya, cuy"
"Kayak pas lo nembak Cory? Wkwk, elah, bro, lepasin aja." Dery menyebut nama itu lagi.
"Ah, lo, ga usah sebut lagi, deh, nanti gue pikirin dulu," gue meninggalkannya dan langsung menuju parkiran.

****

Corolla merah itu memang menarik mata. Suara derunya pun mengundang suara mobil balap. Joknya berwarna merah, dashboardnya berwarna cream.
Ini mobil yang gue sayang, entah kenapa.

Gue menaikki mobil itu. Lalu menarik persneling dan menuju suatu tempat. Semua bagian dari mobil ini utuh, hanya satu yang tidak ada.
Seseorang yang biasanya duduk di jok depan sebelah kiri tidak lagi ada. Entah ia kemana. Hal ini yang gue tidak suka. "Entah ia kemana".

**
Gue ingat tanggal itu. 9 Februari 2011, hari Minggu.
Malam itu cerah, namun tidak berbintang. Konon, itulah tanda-tanda malam yang akan turun hujan.
Waktu itu gue terus menatapnya. Wanita spesial ini punya senyum luar biasa, tidak hanya lekukan biasa.
Restoran itu rasanya milik berdua. Sudah 5 bulan gue ingin menyatakan sesuatu, 5 bulan sudah gue ke sana ke sini dengan wajahnya yang menjangkiti pikiran gue.
Entah kenapa, malam itu rasanya jadi malam yang pas untuk memberi tahu segalanya.

"Ry, gue mau ngomong, deh," gue mulai membuka topik.
"Ngomong apa?" Cory menatap gue.
"Emm, sebenernya, gue itu..." gue berhenti, lidah rasanya kelu. Betapa berkeringatnya gue malam itu.
"Apaa?" Cory menyentuh tangan gue.
"Ah, sebenernya gue suka mie goreng daripada dimsum," gue ngawur.
"Yehh, elu bukannya mesen mie. Yaudah, mau mesen, nggak?" tanyanya.
"Nggak, gak usah.." pecundang memang tidak pernah lepas.

Dari sana, gue beranjak, gue menyimpan lagi kata-kata yang seharusnya sudah keluar. Kami memasuki Mall dan sekedar berjalan adalah hal yang menyenangkan bagi gue, tapi entah Cory merasakan apa.
Malam semakin larut, kami masih duduk berdua di sebuah taman mall. Sudah seperti orang yang berhubungan saja, padahal hanya teman biasa. Malam semakin kosong, mulai banyak petir menyambar, ini waktunya untuk pulang.

Gue mengajak Cory pulang dan membukakan pintu mobil untuknya. Ia selalu duduk di jok itu. Kami selalu berdua di mobil itu. Gue pun lupa bagaimana kami bisa sespesial itu. Tapi, yang gue tahu, setiap Cory sudah duduk di jok itu, mobil ini rasanya utuh.

Benar saja, hujan turun dengan perlahan. Sudah pukul 23.05, Jakarta masih saja ramai. Para pejalan kaki berteduh bersama pengendara motor. Lengang rasanya hanya mobil saja yang ada di jalan. Gue langsung memikirkan kata-kata yang tadi gue urungkan. Ini saatnya.

"Cory, jadi gini, ya, gue mau ngomong sama lo. Gue suka sama lo, udah lama, sebelum kita kenal. Udah lebih dari 5 bulan. Jadi gimana?" Gue mengatakan itu dengan cepat lalu menatap Cory.

Cory hanya tersenyum. Senyumnya entah melambangkan iya atau tidak atau malah meremehkan. Perjalanan jadi hening semenjak itu. Cory hanya menatap jalan, dan gue mulai pusing melihat wiper mobil yang bulak-balik. Sebenernya, gue pusing, apa Cory akan membalasnya?.

1 jam 30 menit sudah, rumah Cory sudah di depan mata. Sayangnya, Cory belum juga menjawab itu semua. Cory membuka pintu mobil, ia keluar tanpa tanda perpisahan seperti biasanya. Gue hanya diam. Melihat ia yang hilang di belakang pagar tinggi rumahnya. Gue menunggu, tidak tahu menunggu apa.

15 menit kemudian, pagar hitam itu dibuka seseorang. Ternyata Cory. Ia berlari kecil ke arah gue, dan mengetuk jendela.

Gue diam, dia juga diam. Dia menunggu apa? Padahal, gue sedang menunggu jawabannya itu.

"Kalo nggak, juga ga apa, Ry. Santai aja" gue menatap stir mobil, tidak berani menatapnya.
"Iya, Han, gue juga suka sama lo," tetiba gue merasakan sesuatu yang bahagia. Ternyata Cory mencium pipi gue. Di sana, gue tidak sempat melihat wajah Cory. Tidak sempat melihat mata Cory. Ia dengan cepat berbalik arah dan lagi'lagi menghilang di balik pagarnya.

Gue kira ini adalah malam yang sangat bahagia, malam yang bisa mengudarakan hati yang senang, malam yang bisa merubah hujan menjadi anak-anak dandelion yang cantik, ternyata tidak.

*
Gue bergegas menjemput Cory pagi itu. Tentu ke rumahnya. Dengan membawa nasi goreng buatan gue, semangat penuh dan cinta yang menyenangkan menemani gue di jalan.
Sampai di depan rumahnya, gue menunggu, mengirimi Cory pesan dengan sticker-sticker ala orang-orang yang saling mencintai.

Gue menunggu sudah satu jam. Seketika, keluarlah satpam yang biasa menjaga rumah Cory.

"Mas Jehan, nyari Cory, ya?" tanyanya.
"Iya, Pak Agung, dia udah berangkat duluan, ya?"
"Wah, dia udah berangkat dari jam 2 pagi, tuh, mas," ujarnya.
"Ha? Kemana?" Gue heran.
"Lah, mas ga tau, kalo Cory sama keluarganya pindah ke Turki? Si Bapak kerja di sana, jadi pada pindah." Jelasnya.
"Oh, gitu, ya, kapan balik lagi?" Gue tercengang.
"Ga tau, deh, mas, kayaknya ga balik lagi. Ini rumah hari ini juga ada yang mau ngontrak."
"Oh gitu, makasih, Pak".

Pagi itu, hari gue patah. Patah hati. Malah, bukan patah hati, hati gue pecah. Entah keping mana yang harus gue selamatkan. Menyalahkan Cory pun tidak ada gunanya. Menyalahkan diri sendiri juga tidak rela, apalagi menyalahkan Pak Agung.

Semuanya menyedihkan pada hari itu. Gue bolos kuliah, gue masuk ke dalam selimut seharian. Demam menjadi-jadi selama seminggu.

Cory pergi tanpa pamit. Bahkan perginya tanpa meninggalkan tatapan terakhir saat malam itu karena gue tidak sempat.

****
Saat itu juga, sampai sekarang, gue menyimpan Cory di tanah paling dalam, di atap paling atas dan di tembok yang paling keras. Gue tidak lagi menyebut namanya, walaupun ada kangen yang kadang mengiris, tidak lagi menghunus. Pedang rindu itu tidak lagi mempan untuk menembus tembok air mata.
Laki-laki pun boleh menangis, bukan?.

4 tahun gue tidak lagi melihatnya. Bersapa pun tidak pernah karena tidak tahu akunnya.
4 tahun tidak ada lagi yang duduk di jok depan ini.

Ditunggu buat gagu, dilepas malah buat kebas.
Ini namanya kangen.
Kangen luar biasa dari seorang yang diduga biasa, yang selalu ada di sini. Di tempat yang Dery sebut "Hanya Kaleng Beroda".

Gue kangen.

----------
Hello, sekarang gue bikin satu label. Namanya Shorto. Singkatan dari Short Story wkwk.

Kenapa gue bikin Shorto?

Karena gue seringkali mikirin suatu cerita. Cerita yang terlalu singkat untuk dijadikan macem novel.
Jadi dari situ, agar pikiran-pikiran berupa cerita itu gak ilang gitu aja, gue bikin label Shorto ini.

Iya, soalnya kalo nulis di Wattpad, nanti kependekan..
Hehe, yaudah.
😊😀

Wednesday 18 February 2015

Sebegitukah cinta?
Sebegitukah cinta? Senyum yang melebar dan pipi yang memerah?
Sebegitukah cinta? Menari di kamar mandi sambil tersenyum dan terkadang tertawa?
Sebegitukah cinta? Tidur dengan mimpi indah disuguhkan  wajahnya?

Sebegitu haruskah cinta? Jika menangis, ia mengusap pelupuk mata yang basah itu?
Sebegitu haruskah cinta? Tertawa bersama diiringi pukulan manja?
Sebegitu haruskah cinta? Memasak makanan kesukaanya, lalu disiapkan untuk diberi kepadanya, lengkap dengan ucapan hangat?
Sebegitu haruskah cinta? Menengadahkan tangan lalu memohon dipanjangkan umur cintanya?
Sebegitu haruskah cinta? Mengantarnya pulang dengan senang hati dan memasang kaca spion tepat untuk melihat wajahnya?
Sebegitu haruskah cinta? Jika ia berkonflik, menunggu di depan rumahnya sambil membawa satu box makanan kesukaannya?

Tapi, sebegitu haruskah cinta dibalas?
Karena saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya orang awam yang menjurus kepada buta terhadap cinta. Mungkin selama ini saya berbicara tentang cinta, padahal, saya hanya seperti anak anjing yang mencari tulang mainannya, yang ia kira adalah makanan kesukaannya.

Saya terlihat berbicara tentang cinta, sampai ada yang bilang bahwa hidup itu bukan tentang cinta melulu. Saya dibuatnya terdiam. Saya bingung, yang saya tahu cinta adalah suatu rasa yang mendapat timbal balik rasa yang sama dari objek lawan. Sedangkan sekarang, saya hanya melempar-lempar rasa ini setiap hari. Pada pria yang sama, pria yang hanya berjarak 15 ubin dari tempat saya.

Dan yang saya tahu, saat pria itu membuka pintu kelas pagi-pagi, di situlah hari milik saya baru dimulai.

Monday 2 February 2015

Hari ini, gue ulang tahun. Tepat 16 tahun gue sudah merasakan rotasi bumi.
29 Januari 1999. Semakin saya bertambah usia, semakin sedikit pula euphoria yang datang menggebuk riuh suasana.

Karena, kegelapan dari Hari Ulang Tahun itu ternyata ada. Tetapi, ia sangat fana dan pelik.

Mengapa setiap bertambah usia, kita serasa perlu merayakannya?

Karena di setiap tahun yang digunting pemegang waktu adalah hitungan dimana jatah menghuni bumi habis satu per satu.

Di setiap anda berulang tahun, anda merayakannya karena apa? Karena anda bergelimang emas, bermandikan uang dollar? Ya, itu salah satu faktornya. Tetapi, tidakkah anda tahu, roll film hidup anda hampir habis.

Menurut saya, mengapa Hari besar seperti itu harus dirayakan, karena hari itu akan muncul satu tahun sekali, satu hari per 365 hari. Dan saat satu hari itu datang, pantas saja merayakannya dengan terompet dan kue blackforest, karena pada 364 hari setelahnya, anda tidak akan pernah tahu akan menjadi apa.

Apakah anda akan jatuh miskin pada hari ke-13, atau apakah anda tidak lagi bisa berlari dikejar teman anda karena anda bisa saja mengalami celaka dan cacat, atau malah, apakah di hari-yang-orang-tidak-akan-tahu, anda telah menenggak pil tidur segenggaman tangan?

Jika akhirnya sangat pelik, setiap orang yang benar-benar mengenal anda akan terus mengirimi kartu "Selamat Ulang Tahun" di atas pusara anda.

Dan menurut saya, mengapa kita rasanya bersemangat menghitung detik yang akan mengantarkan pukul 00.00 tepat di tanggal besar itu?

Karena, pengucapan Selamat serasa sangat penting. Terlebih siapa yang mengingat dan jadi pengucap pertama.
Dulu, saat saya masih di kelas 6, saat saya meraih tanggal 29, saya terus menggenggam handphone saya. Melihat, adakah seseorang yang ingat? Ternyata ada sebanyaknya 2 orang.

Saat saya naik jenjang SMP, trend hari itu adalah BBM. Dimana setiap seseorang yang berulang tahun akan dipasang namanya di personal message BBM dan diiringi emoticon party. Waktu itu, saya memantau Blackberry saya sampai waktu hari 29 habis.Ternyata ada pula yang memasang itu sebanyak 3 orang.
Waktu itu saya masih fanatik. Karena sepenglihatan saya, anak-anak sebaya yang berulang tahun akan dipasang namanya di banyak kontak milik saya sehingga orang-orang tau dan mengucapkan embel-embel harapan. Saat itu pula, saya sadar mereka adalah anak VVIP sekolah. Da aku mah apa atuh.

Tapi sekarang, saya memang masih menunggu pukul 00.00, siapakah orang pertama kali yang mengucapkan? Konon, orang pertama itu adalah orang paling spesial, katanya.

Dan mengapa menyelipkan doa sebelum meniup api lilin sudah menjadi tradisi?
Menurut saya, doa yang ditiupkan di lilin spesial pada hari spesial pula yang dapat membantu anda melupakan gelapnya Hari Ulang Tahun anda.
Membantu anda untuk tidak mengalami kesulitan di 364 hari tersebut.
Mengeluarkan anda dari lubang-lubang penyelinapan kesedihan.
Dan menarik anda ke dalam ruang putih, kanvas baru di tahun anda yang baru. Kanvas yang harus anda warnai. Terserah dengan warna, anda yang akan menjadi pelukis walaupun anda bukan seniman. Anda yang akan menulis walaupun anda bukan penulis. Anda yang akan berpuisi di sana walaupun anda bukan penyair.
Dan yang terpenting, doa itu membantu anda melupakan sejenak roll film waktu yang telah digunting. Merelakskan anda dari pemikiran seperti yang saya tulis ini.

Maka, di setiap hari besar anda. Satu hari per 365 hari milik anda, bersenang-senanglah, bergaullah, keluar dari kamar dam mendapatkan "Selamat" walau anda tidak fanatik.

Dan, Selamat Ulang Tahun ke-16 untuk saya. \o/~

Saturday 24 January 2015

Ini cuma lampiran motivasi biar kami tidak melalui situasi 'Jari Kebas'.

Post8 itu hanya sebuah kelas.
Ada empat tembok pembatas
Satu pintu menghadap teras
Akhir ini, jadi kelas panas
Barang primer, ya kipas
Maklum, pendingin sudah tua saatnya mereka mati pulas
Semoga, sih, tidak mirip lapas

Kecilnya kelas diisi 37 anak,masing2 punya mimpi yang berkelas

Mereka, sih, lumayan bebas
Kata-katanya culas
Tapi hatinya tidak keras
Karena sebagian adalah hati yang tak terbalas
Tapi, tenang, mereka tetap pekerja keras
Katanya, biar kelak bisa cari beras
Sambil ngeteh di kursi teras
Yah, biar gampang, mudah dan beban lepas alias sukses keras.

Post8 itu hampir selalu ada solidaritas
Perbedaan malah biar jadi pluralitas
Karena katanya, dominasi bikin ganas
Ya pokoknya kebersamaan prioritas.
Tapi tetap sih, kelompok pisah, genre terbatas. 

Hebatnya lagi, post8 itu seperti kertas
Biar tidak kosong, bisa diisi dengan kreativitas.
Saking hebatnya, Post8 itu layaknya panggung pentas
Drama sana sini tapi tetap menghadap realitas.
Kami sama-sama tau ada omong kosong kelas atas, tapi apa boleh buat, itu cuma bumbu penyedap untuk selaras.

Yang terakhir, keadaan kelas makin memanas.
Apalagi sedang terseok menahan tugas.
Semoga, sih kami masih waras
Masih bisa menuntut ilmu sampai terkupas

Ah, Yasudahlah, doakan saja calon pemimpin sini yang masih jadi tunas Semoga kami berkualitas
Pantas jadi yang teratas
Untuk bangsa dan semua yang mendukung dengan semangat panas.

Terima kasih,
Salam Cinta, insha-Allah tidak akan kandas.

Hari ini, saya menemukan kegetiran itu. Memang belum terlalu puncak, tapi di sini saya akan meluapkan getir saya dalam menjalani skenario hidup.

Getir itu saya kemas dengan kemasan Tuan dan Tanah. Maka, saya beri penjelasan tentang Tuan dan Tanah dari pikiran saya.

Tuan yang tidak bertanah adalah simbol dari kebebasan tetapi diimbangi dengan kehilangan dan kekosongan karena ia tidak memiliki tanah.

Tuan yang tidak bertanah ini selalu gelisah saat mencari tanah yang dirasa 'sreg' dengannya.
Adakah tanah subur yang mampu memekarkan taman untuk ia telusuri? Atau memang, selama pencarian tanah ini, ia terlanjur percaya bahwa tidak ada lagi tanah yang ia harapkan? Atau malah, tanah sempurna itu sudah ditancapkan dengan papan nama orang lain?
Gelisah itu berlarut di dalam dirinya. Bukan hanya hati, pikiran pula. Berlarut-larut, sampai ia bosan membuka layar kapalnya lebar. Sampai ia muak dengan semua celotehan awaknya tentang betapa sempurnanya tanah-tanah yang ia pernah kunjungi. Sungguh, sampai ia tertelan ke dalam rasa tidak nyamannya sendiri.

Bahkan ia belum pernah sadar, tanah itu telah ia lewati berkali-kali. Telah berganti papan nama berkali-kali.
Bahkan ia tidak pernah tahu, perjalanannya hanya sekedar putaran tanpa tembok pembatas.
Si Tuan tidak perlu lagi melepas layarnya, seharusnya, ia sudah beristirahat, menabur bijih bunga agar ia bisa tertidur nyaman di tengah taman itu.
Tetapi, tampaknya Tuan itu tidak akan pernah sadar terhadap tanahnya, sampai kapalnya dirusak semesta hanya untuk menyadarkannya. 

Sementara, Tanah yang tidak bertuan ibaratnya kekosongan yang seolah-olah gersang dengan terpaksa. Kekosongan yang tidak bisa berpindah tempat, tidak bisa mencari tuannya dan hanya bisa menunggu dihampiri. Walaupun tanah itu akan tumbuh subur, menumbuhkan bunga indah, merah merekah, namun, sampai tanah itu berdarah, ia tak akan berguna sampai ada Si Tuan yang 'terdampar' di tanah itu.
Itu pun adalah tanah subur. Jika tanah tidak bertuan yang lain adalah tanah gersang, retak, dan kering, adakah yang akan menghampirinya?
Walaupun ada yang terdampar, tanah itu seperti tidak layak untuk dihampiri, malah Si Tuan lebih memilih untuk hanyut kembali daripada harus mengutuk tanah itu sampai ia mati. Padahal, Si Tuan itu tidakkah ia mengetahui mengapa tanah ini kering hingga ia tak layak disebut tanah?
Padahal, tanah itu hanya perlu sentuhan kecil, hanya perlu dirawat tanpa ada kerusakkan lagi.
Tidakkah tuan tahu? Tanah ini sudah dirusak oleh sekian tangan. Ia perlu tangan yang lebih lembut untuk menjaganya.

Getir itu mulai menjadi dilema. Lelah menunggu, sampai ia putuskan bunuh diri dibawa ombak besar.

Mungkin tanah kering itu sadar, tuannya tidak akan pernah kembali lagi dan tidak akan ada tuan lainnya. Bahkan untuk membuat pusara bagi tuannya pun, ia tidak pernah layak.
Bahkan keyakinan terhadap semesta mungkin sudah buyar.
Harapan untuk menumbuhkan kembang di lahannya telah pupus.
Dedaunan kering telah tersapu angin.
Batang yang ringkih telah jadi simbol ia tidak akan pernah punya tuan lagi.
Tanah yang kering sudab menjadi tanda bahwa ia adalah retakkan yang tidak bisa membaik dengan sendirinya.

Jadi, saya kira, jawaban pertanyaan di atas akan sangat mudah.

Siapakah anda? Apakah Tuan tidak bertanah, atau Tanah tidak bertuan?
Lalu, siapakah saya?

Anda tahu jawaban itu, karena andalah yang membuat pertanyaan ini lalu membisikkan di atas lahan saya yang sudah ditancap nama Tuannya, yaitu nama anda.

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff